Beranda
SEJARAH NAMPON
Dari berbagai sumber tulisan dan penelusuran sejarah persilatan Jawa Barat tidak dipungkiri bahwa Nampon (Ilmu Nampon) adalah salah satu perintis Pencak yang mengandung tenaga dalam.
Pada akhir abad ke-19. Pencak Silat Nampon telah dipelajari secara terbatas tetapi baru dikenal luas pada tahun 1932 ketika Uwa Nampon melakukan kaul di depan stasiun Padalarang. Saking girangnya menyambut kelahiran anak pertama, Uwa Nampon di luar kesadarannya berteriak-teriak seperti orang gila. Karena dianggap gila, Uwa Nampon hendak diringkus beramai-ramai. Uwa Nampon mempersilahkan siapa saja boleh menyerang dengan cara apapun, tidak seorangpun yang dapat menyentuh Uwa Nampon malah para penyerang terpental sebelum dapat menyentuhnya. Kejadian di tempat umum ini sangat mengundang ketakjuban dan keheranan, sehingga banyak orang yang ingin berguru kepadanya untuk mendapat keilmuan seperti Uwa Nampon.
Uwa Nampon
Uwa Nampon lahir di Kecamatan Limus Nunggal Ciamis tahun 1888 dan meninggal tahun 1962 di Desa Margajaya Kampung Babakan Kecamatan Ngamprah Padalarang. Beliau pernah bekerja di Jawatan Kereta Api Belanda, serta dianugerahi Bintang Jasa Perintis Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Kecintaan Uwa Nampon kepada bangsa dan negara sangat tinggi, oleh karenanya murid- muridnya banyak dari kalangan pejuang. Karena dinilai memberontak dan membahayakan, Belanda menangkap dan memenjarakan beliau bersama Bung Karno. Uwa Nampon sempat dipenjara di LP Banceuy Bandung kemudian dipindahkan ke Sawahlunto Sumatera, divonis 4 tahun penjara.
Sebelum memperkenalkan "jurus tenaga dalam", Uwa Nampon banyak belajar ilmu dari pendekar yang lebih senior, beliau pernah berguru pada Abah Khoir pencipta silat Cimande, dan pendekar-pendekar asal Batavia di antaranya Bang Madi Kari, Bang Ma'ruf juga H. Qosim pendekar yang diasingkan kerajaan Pagar Ruyung Padang karena mengajarkan silat di luar kerajaan.
Banyak pendekar yang ingin mencoba kehebatan ilmu Uwa Nampon, salah satunya pendekar dari Situsaeur (Kopo sekarang) Bandung, yaitu KM Thamim Mahmud (Uwa Thamim).
Dilahirkan di Bandung pada tahun 1902 dan meninggal tahun 1982 dimakamkan di Pemakaman keluarga di daerah Sekepanjang Bandung.
Uwa Thamim belajar ilmu Pencak sejak umur 10 tahun, sempat belajar Penca Cikalong, Cikaret dan Cimande. Walaupun beliau sudah dilarang oleh istrinya, rupanya darah pendekar tetap tidak bisa dihilangkan. Demi untuk meningkatkan dan menambah wawasan, beliau mendatangi ilmu Nampon yang pada jaman itu sangat terkenal di kalangan pendekar silat, hasilnya Uwa Thamim tidak bisa menandingi kehebatan dan keanehan Ilmu Nampon.
Uwa Thamim memutuskan untuk belajar ilmu Nampon tahun 1932 pada Uwa Nampon dLPadalarang. Setelah kurun waktu beberapa tahun, maka pada tahun 1937 beliau mendapat izin dan restu Uwa Nampon untuk mendirikan perguruan Trirasa di rumah beliau di Jalan Kopo 144 Bandung di bawah bimbingan sang Guru Uwa Nampon, sedangkan perangkat organisasi baru terbentuk pada tahun 1940 dengan nama Paguron Penca Silat Nampon Trirasa.
Ilmu Trirasa mengkonsentrasikan pelajaran pada peningkatan kracht (tenaga dalam) beserta perangkat pikir dan rasa, bagaimana meningkatkan dan mendayagunakan kekuatan lahir dan batin manusia. Dalam perjalanan kehidupan Paguron sempat redup beberapa dekade, dan pada era 60-an Uwa Thamim menghidupkan kembali Paguron Trirasa, hal ini mendapat sambutan dari kaula muda terutama dari kalangan mahasiswa di kota Bandung.
H. Setia Muchlis
H. Setia Muchlis belajar Ilmu Nampon mulai 1932 dibimbing langsung oleh Uwa Nampon. Sebagai seorang prajurit beliau sangat memahami arti dari Ilmu Penca Silat Nampon dan manfaatnya bagi keselamatan dan keamanan dirinya. Di bawah ini pengalaman yang paling mengesankan dalam pemanfaatan ilmu Nampon.
Saat revolusi 1947, sebagai komandan pleton, dalam rangka perlawanan di wilayah Bandung Selatan, berhasil mengumpulkan senjata dari sisa tentara Jepang. Kemungkinan karena keberhasilannya, ada yang iri dan dendam padanya. Dia dan beberapa kawan ditahan untuk diinterogasi oleh TNI di Jl. Cihampelas Bandung.
Malam hari, saat H. Setia Muchlis mau buang air kecil, di luar rumah, di belakang mendengar suara/bunyi klik beberapa kali. Setelah masuk kembali, ada seorang penjaga menghampiri dan mengucapkan "Selamat". Dari pernyataan penjaga itu dia menyadari bahwa dia hampir mau terbunuh. Sebenarnya saat buang kecil di luar ditembak oleh penghianat yang iri hari dan dendam padanya. Memang Allah SWT masih melindunginya dan tembakan itu tidak berhasil karena senjata tidak meletus. Malam harinya, dia dan kawan-kawan memutuskan kabur. Saat malam hari, jam 03.00 masih berbincang-bincang, kawan-kawan ragu dan ingin membatalkan. H. Setia Muchlis yakin bahwa bila dia terus disana pasti akan dibunuh keesokan harinya. Dengan memohon pada Allah SWT, setelah pasang harkatan, para penjaga tertidur, H. Setia Muchlis dan kawan-kawan berhasil melarikan diri dan di ujung jalan Cihampelas mereka berpisah untuk menghilangkan jejak.
Salah satu pengalaman yang berkesan lainnya adalah saat H. Setia Muchlis mendapat tugas di sekitar wilayahnya. Saat itu ada laporan mendadak akan terjadi serangan musuh di dekat rumah. H. Setia Muchlis menyiapkan pasukannya menghadang musuh yang diketahui melebihi kekuatannya di dekat rumah di Suka Mukti Bandung Selatan. H. Setia Muchlis menyadari bahwa dia terjepit karena lokasi dia yang terbuka, pasukannya menjadi sasaran empuk tanpa perlindungan dan akan habis dibantai.
Dengan tenang dan pasrah pada Allah SWT, menggunakan harkatan dan segala pengetahuan Ilmu Nampon, ketika serbuan tiba H. Setia Muchlis menangkis serangan musuh Belanda. Mereka memukul pasukannya dengan bertubi-tubi tembakan, serengan mortir dan granat. Semuanya tidak berhasil menembus pertahanan H. Setia Muchlis. Akhirnya musuh mundur dan tidak ada korban tembakan yang mengenai pasukan beliau.
Kini H. Setia Muchlis sebagai Dewan Guru terus mengabdikan dirinya pada pengembangan agama dan Penca Silat Nampon. Beliau terus tanpa lelah mendorong para pemuda mendalami ilmu Nampon, dibarengi dengan pendalaman agamanya guna mendapatkan keseimbangan yang baik jasmani rohani dalam menjalani hidup di dunia dan akhirat. H. Setia Muchlis kini aktif mengasuh lebih dari 10 padepokan di daerah Sukamukti.dan Soreang Bandung Selatan.
Salah satu amanat Uwa Nampon yang sangat dia ingat dan kini dia teruskan kepada segenap murid PPSN untuk dihayati dan amalkan adalah "Lindungilah yang dianiaya dan lindungilah yang menganiaya".
KH Sudradjat Handawinata
Lahir di Tebet Jakarta tanggal 22 November 1943, dikenal dengan panggilan Abah Ajat. Abah tumbuh dan besar di kota Bandung. Sejak kecil "Gan Atun" nama kesayangan dan penghormatan kepada darah pendekar dari Samarang Garut ini mempunyai kegemaran yang berbeda dengan sebayanya. Abah kecil senang dengan Penca, kesenian tradisi dan yang paling mengherankan beliau senang "dunia gaib". Abah kecil senang jika disuruh menempati rumah kosong yang kemungkinan di dalamnya terdapat hal-hal gaib, beliau sangat senang dengan hal-hal yang menantang keberanian.
Abah kecil banyak mendapatkan pelajaran Penca dari berbagai aliran. Pada suatu hari Abah muda pernah melakukan pertarungan Penca dan tenaga dalam dengan salah seorang pendekar dari Sumedang.
Pertarungan tidak selesai dalam 1 hari, kemudian pertarungan dilanjutkan di hari kemudian, di mana dalam pertarungah terakhir tidak ada seorang pun yang kalah atau menang. Di akhir pertarungan Pendekar Sumedang tersebut memberikan gelar Yudhajagasatru yang secara harfiah artinya "Pertempuran yang menjaga Perseteruanâ€, maka untuk membedakan keilmuan yang dikembangkan Abah Ajat dengan rekan seperguruan lainnya, Abah menamakan ilmu ini "Nampon Trirasa Jagasatru".
Demi untuk menyempurnakan keilmuan dan kepenasaran keunggulan ilmu Nampon Trirasa ini, Abah muda menjelajahi berbagai pelosok di tanah Jawa. Abah muda banyak sekali mendapatkan pemahaman dan keilmuan untuk kesempurnaan ilmu ini, mulai dari ilmu Karuhun, llmi Kerohanian dan ilmu Penca, meskipun kesempurnaan ilmu tidak akan pernah ada ujungnya, malah daripada mendapatkan ujung keilmuan akan lebih dahulu kita akan mendapatkan ujung umur kita, demikian Abah menjelaskan ketika ditanya sampai kapan dan di mana ujung atau akhir keilmuan itu.
Abah Ajat secara resmi mengajarkan keilmuannya mulai tahun 1992 di Jakarta secara berpindah-pindah bersama rekan seperguruannya waktu di Jl. Kopo, kemudian mengajarkan keilmuannya di Bandung mulai tahun 1994 bertempat di Aula PDAM Jl. Badak Singa Bandung.
Pada tahun 1993, Abah bersama teman seperguruannya di Trirasa Jl. Kopo 144 mendirikan PPSN Trirasa, dengan tujuan untuk membangkitkan dan meneruskan Paguron yang telah lama tidak aktif selelah Uwa Thamim wafat. Bersama beberapa tokoh Nampon mendirikan Paguron Penca Silat Nampon (PPSN) pada tahun 1994, dengan tujuan memberikanwadah pemersatu untuk Paguron-Paguron yang sealiran Nampon.
*) disadur dari BULETIN NAMPON SPOT-Edisi Juni 2012 atas izin Abah Sudradjat
Dari berbagai sumber tulisan dan penelusuran sejarah persilatan Jawa Barat tidak dipungkiri bahwa Nampon (Ilmu Nampon) adalah salah satu perintis Pencak yang mengandung tenaga dalam.
Pada akhir abad ke-19. Pencak Silat Nampon telah dipelajari secara terbatas tetapi baru dikenal luas pada tahun 1932 ketika Uwa Nampon melakukan kaul di depan stasiun Padalarang. Saking girangnya menyambut kelahiran anak pertama, Uwa Nampon di luar kesadarannya berteriak-teriak seperti orang gila. Karena dianggap gila, Uwa Nampon hendak diringkus beramai-ramai. Uwa Nampon mempersilahkan siapa saja boleh menyerang dengan cara apapun, tidak seorangpun yang dapat menyentuh Uwa Nampon malah para penyerang terpental sebelum dapat menyentuhnya. Kejadian di tempat umum ini sangat mengundang ketakjuban dan keheranan, sehingga banyak orang yang ingin berguru kepadanya untuk mendapat keilmuan seperti Uwa Nampon.
Uwa Nampon
Uwa Nampon lahir di Kecamatan Limus Nunggal Ciamis tahun 1888 dan meninggal tahun 1962 di Desa Margajaya Kampung Babakan Kecamatan Ngamprah Padalarang. Beliau pernah bekerja di Jawatan Kereta Api Belanda, serta dianugerahi Bintang Jasa Perintis Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Kecintaan Uwa Nampon kepada bangsa dan negara sangat tinggi, oleh karenanya murid- muridnya banyak dari kalangan pejuang. Karena dinilai memberontak dan membahayakan, Belanda menangkap dan memenjarakan beliau bersama Bung Karno. Uwa Nampon sempat dipenjara di LP Banceuy Bandung kemudian dipindahkan ke Sawahlunto Sumatera, divonis 4 tahun penjara.
Sebelum memperkenalkan "jurus tenaga dalam", Uwa Nampon banyak belajar ilmu dari pendekar yang lebih senior, beliau pernah berguru pada Abah Khoir pencipta silat Cimande, dan pendekar-pendekar asal Batavia di antaranya Bang Madi Kari, Bang Ma'ruf juga H. Qosim pendekar yang diasingkan kerajaan Pagar Ruyung Padang karena mengajarkan silat di luar kerajaan.
Banyak pendekar yang ingin mencoba kehebatan ilmu Uwa Nampon, salah satunya pendekar dari Situsaeur (Kopo sekarang) Bandung, yaitu KM Thamim Mahmud (Uwa Thamim).
Dilahirkan di Bandung pada tahun 1902 dan meninggal tahun 1982 dimakamkan di Pemakaman keluarga di daerah Sekepanjang Bandung.
Uwa Thamim belajar ilmu Pencak sejak umur 10 tahun, sempat belajar Penca Cikalong, Cikaret dan Cimande. Walaupun beliau sudah dilarang oleh istrinya, rupanya darah pendekar tetap tidak bisa dihilangkan. Demi untuk meningkatkan dan menambah wawasan, beliau mendatangi ilmu Nampon yang pada jaman itu sangat terkenal di kalangan pendekar silat, hasilnya Uwa Thamim tidak bisa menandingi kehebatan dan keanehan Ilmu Nampon.
Uwa Thamim memutuskan untuk belajar ilmu Nampon tahun 1932 pada Uwa Nampon dLPadalarang. Setelah kurun waktu beberapa tahun, maka pada tahun 1937 beliau mendapat izin dan restu Uwa Nampon untuk mendirikan perguruan Trirasa di rumah beliau di Jalan Kopo 144 Bandung di bawah bimbingan sang Guru Uwa Nampon, sedangkan perangkat organisasi baru terbentuk pada tahun 1940 dengan nama Paguron Penca Silat Nampon Trirasa.
Ilmu Trirasa mengkonsentrasikan pelajaran pada peningkatan kracht (tenaga dalam) beserta perangkat pikir dan rasa, bagaimana meningkatkan dan mendayagunakan kekuatan lahir dan batin manusia. Dalam perjalanan kehidupan Paguron sempat redup beberapa dekade, dan pada era 60-an Uwa Thamim menghidupkan kembali Paguron Trirasa, hal ini mendapat sambutan dari kaula muda terutama dari kalangan mahasiswa di kota Bandung.
H. Setia Muchlis
H. Setia Muchlis belajar Ilmu Nampon mulai 1932 dibimbing langsung oleh Uwa Nampon. Sebagai seorang prajurit beliau sangat memahami arti dari Ilmu Penca Silat Nampon dan manfaatnya bagi keselamatan dan keamanan dirinya. Di bawah ini pengalaman yang paling mengesankan dalam pemanfaatan ilmu Nampon.
Saat revolusi 1947, sebagai komandan pleton, dalam rangka perlawanan di wilayah Bandung Selatan, berhasil mengumpulkan senjata dari sisa tentara Jepang. Kemungkinan karena keberhasilannya, ada yang iri dan dendam padanya. Dia dan beberapa kawan ditahan untuk diinterogasi oleh TNI di Jl. Cihampelas Bandung.
Malam hari, saat H. Setia Muchlis mau buang air kecil, di luar rumah, di belakang mendengar suara/bunyi klik beberapa kali. Setelah masuk kembali, ada seorang penjaga menghampiri dan mengucapkan "Selamat". Dari pernyataan penjaga itu dia menyadari bahwa dia hampir mau terbunuh. Sebenarnya saat buang kecil di luar ditembak oleh penghianat yang iri hari dan dendam padanya. Memang Allah SWT masih melindunginya dan tembakan itu tidak berhasil karena senjata tidak meletus. Malam harinya, dia dan kawan-kawan memutuskan kabur. Saat malam hari, jam 03.00 masih berbincang-bincang, kawan-kawan ragu dan ingin membatalkan. H. Setia Muchlis yakin bahwa bila dia terus disana pasti akan dibunuh keesokan harinya. Dengan memohon pada Allah SWT, setelah pasang harkatan, para penjaga tertidur, H. Setia Muchlis dan kawan-kawan berhasil melarikan diri dan di ujung jalan Cihampelas mereka berpisah untuk menghilangkan jejak.
Salah satu pengalaman yang berkesan lainnya adalah saat H. Setia Muchlis mendapat tugas di sekitar wilayahnya. Saat itu ada laporan mendadak akan terjadi serangan musuh di dekat rumah. H. Setia Muchlis menyiapkan pasukannya menghadang musuh yang diketahui melebihi kekuatannya di dekat rumah di Suka Mukti Bandung Selatan. H. Setia Muchlis menyadari bahwa dia terjepit karena lokasi dia yang terbuka, pasukannya menjadi sasaran empuk tanpa perlindungan dan akan habis dibantai.
Dengan tenang dan pasrah pada Allah SWT, menggunakan harkatan dan segala pengetahuan Ilmu Nampon, ketika serbuan tiba H. Setia Muchlis menangkis serangan musuh Belanda. Mereka memukul pasukannya dengan bertubi-tubi tembakan, serengan mortir dan granat. Semuanya tidak berhasil menembus pertahanan H. Setia Muchlis. Akhirnya musuh mundur dan tidak ada korban tembakan yang mengenai pasukan beliau.
Kini H. Setia Muchlis sebagai Dewan Guru terus mengabdikan dirinya pada pengembangan agama dan Penca Silat Nampon. Beliau terus tanpa lelah mendorong para pemuda mendalami ilmu Nampon, dibarengi dengan pendalaman agamanya guna mendapatkan keseimbangan yang baik jasmani rohani dalam menjalani hidup di dunia dan akhirat. H. Setia Muchlis kini aktif mengasuh lebih dari 10 padepokan di daerah Sukamukti.dan Soreang Bandung Selatan.
Salah satu amanat Uwa Nampon yang sangat dia ingat dan kini dia teruskan kepada segenap murid PPSN untuk dihayati dan amalkan adalah "Lindungilah yang dianiaya dan lindungilah yang menganiaya".
KH Sudradjat Handawinata
Lahir di Tebet Jakarta tanggal 22 November 1943, dikenal dengan panggilan Abah Ajat. Abah tumbuh dan besar di kota Bandung. Sejak kecil "Gan Atun" nama kesayangan dan penghormatan kepada darah pendekar dari Samarang Garut ini mempunyai kegemaran yang berbeda dengan sebayanya. Abah kecil senang dengan Penca, kesenian tradisi dan yang paling mengherankan beliau senang "dunia gaib". Abah kecil senang jika disuruh menempati rumah kosong yang kemungkinan di dalamnya terdapat hal-hal gaib, beliau sangat senang dengan hal-hal yang menantang keberanian.
Abah kecil banyak mendapatkan pelajaran Penca dari berbagai aliran. Pada suatu hari Abah muda pernah melakukan pertarungan Penca dan tenaga dalam dengan salah seorang pendekar dari Sumedang.
Pertarungan tidak selesai dalam 1 hari, kemudian pertarungan dilanjutkan di hari kemudian, di mana dalam pertarungah terakhir tidak ada seorang pun yang kalah atau menang. Di akhir pertarungan Pendekar Sumedang tersebut memberikan gelar Yudhajagasatru yang secara harfiah artinya "Pertempuran yang menjaga Perseteruanâ€, maka untuk membedakan keilmuan yang dikembangkan Abah Ajat dengan rekan seperguruan lainnya, Abah menamakan ilmu ini "Nampon Trirasa Jagasatru".
Demi untuk menyempurnakan keilmuan dan kepenasaran keunggulan ilmu Nampon Trirasa ini, Abah muda menjelajahi berbagai pelosok di tanah Jawa. Abah muda banyak sekali mendapatkan pemahaman dan keilmuan untuk kesempurnaan ilmu ini, mulai dari ilmu Karuhun, llmi Kerohanian dan ilmu Penca, meskipun kesempurnaan ilmu tidak akan pernah ada ujungnya, malah daripada mendapatkan ujung keilmuan akan lebih dahulu kita akan mendapatkan ujung umur kita, demikian Abah menjelaskan ketika ditanya sampai kapan dan di mana ujung atau akhir keilmuan itu.
Abah Ajat secara resmi mengajarkan keilmuannya mulai tahun 1992 di Jakarta secara berpindah-pindah bersama rekan seperguruannya waktu di Jl. Kopo, kemudian mengajarkan keilmuannya di Bandung mulai tahun 1994 bertempat di Aula PDAM Jl. Badak Singa Bandung.
Pada tahun 1993, Abah bersama teman seperguruannya di Trirasa Jl. Kopo 144 mendirikan PPSN Trirasa, dengan tujuan untuk membangkitkan dan meneruskan Paguron yang telah lama tidak aktif selelah Uwa Thamim wafat. Bersama beberapa tokoh Nampon mendirikan Paguron Penca Silat Nampon (PPSN) pada tahun 1994, dengan tujuan memberikanwadah pemersatu untuk Paguron-Paguron yang sealiran Nampon.
*) disadur dari BULETIN NAMPON SPOT-Edisi Juni 2012 atas izin Abah Sudradjat