Pembangunan Nagekeo Berbasis Budaya
Syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Penyelenggara  karena hari ini, Kabupaten Nagekeo dengan paham kosmis ulu soke sunga, eko ora bata, logo bei keli, taga deri mesimenapaki usia yang-ke 4. Pemerintah Kabupaten Nagekeo merayakannya selain dengan upacara tetapi juga dengan sarahsehan/napak tilas Kabupaten Nagekeo. Sesuatu yang baik agar sejak dini kita membiasakan diri dengan berhenti sejenak, melihat kebelakang untuk evaluasi sebagai bekal menatap masa depan dengan keyakinan bahwa hari ini lebih baik dari hari kemarin, hari esok lebih baik dari hari ini.
Masyarakat Nagekeo sebenarnya masyarakat yang paling beruntung. Karena menjelang pengresmian Kabupaten Nagekeo, dibuat sebuah seminar yang menghasilkan sebuah buku berjudul Rancang Bangun Nagekeo. Dalam buku itu tercantum MUKADIMAH yang merupakan amanat rakyat Nagekeo. Dengan buku itu diharapkan dalam membangun Nagekeo berpedoman kepada buku itu. Secara sederhana, dapat kita katakan bahwa penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KU APB) , Plafon dan Program Prioritas APBD, Rencana Strategis dan APBD Kabupaten Nagekeo berpedoman pada buku Rancang Bangun Nagekeo. Para Calon Bupati dan Wakil Bupati menyusun dan menawarkan visi,misi dan programnya harus mengacu kepada Buku Rancang Bangun Nagekeo. Kita mengharapkan bahwa semua itu sudah terjadi. Kalau belum, setiap ulang Tahun Nagekeo yang selalu bertepatan dengan masa adven, baiklah kita bertobat dan kembali ke jalan yang benar.
Untuk sarasehan ini Panitia minta saya ikut menyampaikan materi dengan topik Pembangunan Nagekeo Berbasis Budaya. Berbicara tentang budaya, para ahli seperti Prof. Dr. Kuncaraningrat misalnya mengatakan bahwa ‘kebudayaan’ adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia lewat proses belajar. (Seperti dikutip Pater Philipus Tule SVD dalam buku Rancang Bangun Nagekeo). Karena budaya/kebudayaan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia,maka manusia mengekspresikan budayanya dengan berbagai cara seperti ritual adat, tata krama pergaulan, tata cara kehidupan masyarakat atau seperti orang Nagekeo mengekspresikan budaya mereka melalui ungkapan-ungkapan adat.
Makalah sederhana ini mencoba menyampaiakn berbagai ungkapan adat yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Nagekeo baik sebagai sebuah komunitas kesatuan adat maupun sebagai masyarakat warga sebuah daerah otonom baru yang bernama Kabupaten Nagekeo. Ungkapan adat Nagekeo menyangkut berbagai aspek yang sangat luas dan beranekaragam. Dan kali ini saya mencoba menggali dan berbagi tentang beberapa hal sebagai berikut:
Budaya Gotong royong/Kerja sama dan taat azas
Ungkapan adat tentang ini adalah: Too jogho waga sama, bani papa kapi tego papa leu. Ili jo apa ili jo, mawe-mawe pao mawe-mawe, dalu keli atu dalu keli, ghozo-ghozo fea ghozo, nuka nua nuka zele nua, dala ola dala zele ola. Laa dheko zala, loza dheko nete, nangu wau nou, leta wau fata.
Masyarakat Nagekeo mengekspresikan budayanya ini bukan saja pada saat pemekaran melainkan sejak zaman Swapraja Nagekeo. Persawahan Mbay adalah monumen yang membuktikan semangat “too jogho waga sama, bani papa kapi tego papa leu. Pada saat menggali parit primer dan sekunder ketika bendungan dikerjakan oleh Flores May, seluruh masyarakat Kabupaten Nagekeo dikerahkan untuk  mengerjakannya.( Baca tulisan saya di Flores Pos tentang Irigasi Mbay Kiri dan Sawah)
Karena dalam sarasehan ini ada momentum napak tilas maka marilah kita memahami ungkapan-ungkapan adat yang berkaitan dengan gotong royong dan taat azas untuk melihat kembali bagaimana kita sama-sama berjuang untuk mekar dari Kabupaten Ngada dan membentuk Kabupaten Nagekeo.
Secara konstitusional, pemekaran Kabupaten Ngada dan Pembentukan Kabupaten Nagekeo mengacu kepada UU No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000. Berdasarkan kedua rujukan tersebut dan berbagai peraturan derivasi lainnya suatu daerah dapat dimekarkan sekurang-kurangnya harus melalui beberapa tahapan seperti: Adanya aspirasi masyarakat, adanya penelitian awal yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten Ngada), Ada rekomendasi dari Bupati (Bupati Ngada) dan ada Persetujuan  dari DPRD Kabupaten  (DPRD Kabupaten Ngada). Selanjutnya dikirim ke Provinsi (Provinsi NTT) untuk mendapat Rekomendasi Gubernur (Gubernur NTT) dan Persetujuan DPRD Provinsi (DPRD Provinsi NTT). Kemudian dikirim ke Pemerintah Pusat melalui Departemen Dalam Negeri RI, yang akan ditangani oleh Direktorat Jendral Otonomi Daerah untuk kemudian menyampaikan berbagai telaahan dan analisa kepada Tim Teknis Dewan Pertimnbangan Otonomi Daerah untuk dikaji.  Hasil pengkajian Tim Teknis DPOD yang mencakup berbagai Departemen disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri RI untuk menyusun Amanat Presiden sebagai syarat untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Kabupaten baru dalam hal ini Kabupaten Nagekeo. Kepada DPRI yang memiliki fungsi Legislasi. DPR RI membahasnya sesuai dengan mekanisme dan tata tertib DPR RI daam membahas sebuah RUU tentang pemekaran Daerah dan puji Tuhan, pada tanggal 8 Desember 2006, DPR RI mensahkan UU tentang Pemekaran Daerah.
Tahapan-tahapan tersebut menunjukkan bahwa jalan menuju pembentukan Kabupaten Nagekeo melewati proses penggalangan aspirasi dan proses politk yang berkaitan dengan aspek teknis dan aspek politik.
Dalam proses penggalangan aspirasi, marilah kita menyadari bahwa aspirasi untuk pembentukan Kabupaten Nagekeo sudah ada sejak awal kemerdekaan karena konon ada surat dari Swapraja Nagekeo yang ditujukan kepada Pemerintah Agung Republik Indonesia yang berisi permohonan agar Swapraja Nagekeo menjadi kabupaten sendiri. Kemudian pada tahun 60-an juga ada ide untuk pemekaran Kabupaten Ngada. Ide ini baru menyata pada tahun 2000-an yang harus kita jujur justru muncul dari masyarakat Nagekeo di Kupang yang melontarkan ide pembentukan Kabupaten Nagekeo Riung. Kemudian oleh pertimbangan jangan sampai mematikan Kabupaten induk, teman-teman dari Riung ikhlas keluar dari perjuangan ini dan membiarkan masyarakat Nagekeo terus menggalang aspirasi untuk pemekaran Kabupaten Nagekeo dengan Pembentukan Kabupaten Nagekeo. Dari berbagai pertemuan akhirnya dibentuklah Forum Perjuangan Pembentukan Kabupaten Nagekeo (FPPKN) di berbagai kota seperti di Ngada yang dipimpin oleh Bapak Antonius Bhia Wea (alm), Ende, Kupang dan Jakarta, yang tentunya dengan perannya masing-masing. Dalam konsep too jogho waga sama, bani papa kapi tego papa leu marilah kita sesama pejuang Kabupaten Nagekeo jangan saling mendiskreditkan dan juga jangan mengkultuskindividukan satu dua tokoh yang dapat melemahkan perjuangan kita membangun Kabupaten Nagekeo yang kita perjuangkan. Bahwa dalam perjuangan harus ada yang dalam ungkapan adat disebut “ngusa nee taa wuku ulu enga ekoâ€Â harus diakui dan berilah penghargaan kepada para pemimpin perjuangan itu dengan wajar. Karena ada ungkapan adat  yang mengatakan“ena loka deo tua, moi dhono enga ngusa nee taa lipi, nee taa dhengo, nee taa tau pata, loka moo banaâ€.
FPPKN menyerahkan aspirasi masyarakat untuk pemekaran Kabupaten Ngada dan pembentukan Kabupaten Nagekeo kepada Bupati Ngada dan Pimpinan DPRD Kabupaten Ngada. Dengan penyerahan ini dimulailah proses politik yang mengandung aspek teknis dan aspek politik. Di tingkat Kabupaten aspek teknisnya adalah penelitian awal oleh Pemerintah Daerah membutuhkan dana dari APBD Kabupaten Ngada. Agar aspek teknis ini dapat dilaksanakan maka perlu dukungan politik dari DPRD Kabupaten Ngada yang memiliki hak budget.
Dalam proses politik yang mengandung aspek teknis dan aspek politis, tidak bisa dilakukan tergesa-gesa. Ili jo apa ili jo, mawe-mawe pao mawe-mawe, dalu keli atu dalu keli, ghozo-ghozo fea ghozo-ghozo, nuka nua nuka zele nua, dala ola dala zele ola. Dalam proses politik, sejarah mencatat, Fraksi Partai GOLKAR lah yang pertama menyatakan dukungannya dalam suatu Pemandangan Umum Fraksi yang digelar sesudah FPPKN menyampaikan aspirasi ke DPRD Kabupaten Ngada. Dengan tetap memegang teguh falsafah laa dheko zala, loza dheko nete, nangu wau nou, leta wau fata, Bupati Ngada dan DPRD Kabupaten Ngada menanggapi aspirasi masyarakat tentang pemekaran Kabupaten Ngada dan pembentukan Kabupaten Nagekeo dengan tetap bepegang pada koridor aturan dan mekanisme politik yang seharusnya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan tetap taat azas, lahirlah Keputusan DPRD Kabupaten Ngada tentang Rekomendasi DPRD Kabupaten Ngada agar Pemerintah Kabupaten Ngada menyediakan dana Rp. 135.000.000,- untuk biaya penelitian awal dalam APBD Kabupaten Ngada. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Universitas Katolik Wira Mandira Kupang, meskipun ada indikator yang sebenarnya belum terpenuhi, Bupati Ngada Ir. Albert Nong Bota mengeluarkan Rekomendasi Bupati dan Ketua DPRD Fransiskus Xaverius Wawo BA menanda tangani Keputusan DPRD Kabupaten Ngada tentang Persetujuan DPRD terhadap Pemekaran Kabupaten Ngada dan Pembentukan Kabupaten Nagekeo. Juga DPRD Kabupaten Ngada membuat Keputusan DPRD Kabupaten Ngada tentang Mbay sebagai Ibu Kota Kabupaten Ngada dan rekomendasi DPRD Kabupaten Ngada yang menugaskan Pemerintah memperjuangkan pencabutan PP No. 65 Tahun 1998 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Ngada dari bajawa ke Mbay agar tidak ada masalah karena pada saat yang bersamaan Mbay menjadi Ibu Kota Kabupaten Ngada dan diusulkan menjadi calon Kabupaten Nagekeo. Dan mungkin banyak orang tidak tahu, proses administratif di tingkat Pusat, disaat genting tentang kebutuhan akan keputusan politik tentang ibu kota Kabupaten Nagekeo ada Surat Wakil Ketua DPRD Kabupaten yang mengatakan bahwa berdasarkan musyawarah besar masyarakat Nagekeo, Mbay telah disepakati menjadi Ibu Kota calon Kabupaten Nagekeo dan sambil menunggu Keputusan DPRD maka proses bisa dilanjutkan dan memang berdasarkan surat yang sedikit kontroversial itu proses penetapan ibu kota di tingkat pusat dapat dilangsungkan. Semua proses itu membutuhkan telaahan staf, loby politik antar personal, antar fraksi dan bahkan antar partai Politik. DPD Partai GOLKAR Kabupaten Ngada misalnya melakukan diskusi publik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk para Imam untuk membahas pemekaran Kabupaten Ngada dan pembentukan Kabupaten Nagekeo.
Dalam melancarkan hubungan kerja antara Pemerintah dan DPRD Kabupaten Ngada, kemudian menjalankan tugas-tugas Bupati ke tingkat Pusat berkaitan dengan Pemerintah, Bupati Ngada mempoercayakan penuh kepada Asisten tata Praja ketika itu John Elpi Parera, Kepala Bagian Tata Pemerintahan ketika itu Elias Djo dan dibantu sepenuhnya oleh seorang staf di Bagian Tata Pemerintahan waktu itu yang bernama Imanuel Ndun. Saya berani katakan ini karena pada waktu itu saya adalah Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ngada yang sering ditugaskan oleh Ketua DPRD Kabupaten Ngada memimpin Rapat DPRD Kabupaten Ngada yang membahas masalah Pemekaran Kabupaten, yang sering berdiskusi tentang hal-hal teknis untuk menggolkannya di DPRD Kabupaten Ngada. Karena proses di tingkat Kabupaten Ngada berjalan baik, maka selanjutnya proses di Provinsi dan Pusat Berjalan baik. Dan perlu diingat pula bahwa ketika proses pemekaran Kabupaten makin mendekati titik akhir yang menggembirakan, masyarakat Nagekeo membentuk Komite Pembentukan Kabupaten Nagekeo yang dipimpin Bapak Hieronimus Dapa Tunga. Dan semua jajaran di Pemerintah, di forum, di komite, di DPRD, di Partai Politik, di LSM dan lain-lain too jogho waga sama, bani papa kapi tego papa leumemperjuangkan Pemekaran Kabupaten Ngada dengan Pembentukan Kabupaten Nagekeo.
Dan sejarah juga mencatat ada yang berlaku de nia podi kita, wau mea ngasi pesa. Ada yang oka dhua bola telu, ada yang toko hepa ta gu. Untuk yang terkahir ini, biarlah di saat tana ne ja, watu ne keta, mese imu nee leza mena wa imu nee ae lau. Kini saatnya kita tetap bani papa kapi tego papa leu, too jogho waga sama, potu motu weo je Kabupaten Nagekeo, moo iwu beo, moo lila dhu sia, fanga dhu da. Uzu kita ine sa susu mite ame sa lalu to, zeta tolo kita pedhe nika tuga sa podo, zale teda kita inu tua tuga sa hea. Mae kita-kita naa, bhia ata-ata.  Â
Budaya Kerja Keras
Ketika tujuan kita sudah tercapai, Kabupaten Nagekeo sudah terbentuk, leluhur kita berpesanngaza moo muzi modhe, ngusa toni mula, peni wesi, ngana su, seda mane. Ngusa kungu bubu, logo una, ulu nana wunu, logo bala ko. Ngo mae mo, ghawo mae bhalo.
Pesan ini mengandung maksud masyarakat Kabupaten Nagekeo harus mampu memanfaatkan semua sumberdaya yang ada baik sumber daya manusia maupun sumberdaya alam. Sumber daya manusia berkaitan dengan aspek manajemen pengelolaan sumber daya alam mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penempatan personil, pengarahan, koordinasi sampai dengan pengawasa. Sumber daya alam kita mendukung usaha pertanian dalam arti luas yang akan menunjang pembangunan ekonomi Kabupaten Nagekeo. Perekonomian yang baik akan menunjang pendidikan dan kesehatan yang memadai. Pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan harus ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Toni mula wesi peni berkaitan dengan pengalihan dari pertanian tradisional yang subsisten ke pertanian modern yang berorientasi pasar. Yang menerapkan sapta usaha tani dengan baik dan benar. Yang memperhatikan kearifan lokal, kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan masyarakat. Dalam membangun pertanian barangkali konsep 5 T, (tana, toni,tuka, tuku, teka) perlu dijabarkan dengan baik. Kepemilikan tanah perlu diatur secara baik sehingga bisa dimanfaatkan untuk toni mulasehingga jangan lagi ada ungkapan yang mengatakan tana kami meze manga bholo mona toni mula apa. Wau kami lewa latu bholo woso wai koo watu. Dan selanjutnya hasil pertanian selain untuk makanan dan cadangan makanan juga untuk dijual yang diarahkan dari petik jual menjadi petik olah jual demi peningkatan penghasilan dan peningkatan kesejahtraan petani.
Ngana su dan seda maneberkaitan dengan kerajinan dan industri ruma tangga. Ngana sudiarahkan untuk anyaman yang bernilai jual tinggi. Seda mane juga diarahkan untuk membuat tenunan-tenunan yang bernilai jual tinggi yang tidak saja digunakan untuk urusan adat tetapi berorientasi pasar dan sesuai dengan kebutuhan pasar. Misalnya tidak sekedar menenun sarung dan selendang tetapi bisa juga untuk taplak meja, dasi dan sebagainya.
Pada momentum ulang tahun ini kita juga perlu refleksi bahwa kerja keras saja tidak cukup. Dibutuhkan manajemen pengelolaan yang baik. Ada banyak contoh yang menunjukkan kerj keras saja tidak cukup. Pada kesempatan ini saya ambil contoh sederhana tentang Kujana (Krupuk Jagung Nagekeo) dan Sajana (snack jagung Nagekeo). Karena menanam jagung sudah membudaya bagi masyarakat Nagekeo dan hasil panen jagung cukup baik, maka untuk memberikan nilai tambah bagi petani Nagekeo diperkenalkan teknik pengolahan jagung menjadi kujana dan sajana. Dan untuk belajar membuat kujana dan sajana maka para petani/pengrajin kita didampingi oleh para pejabat, penyuluh dan anggota DPRD berangkat ke Luwu di Sulawesi Tenggara. Disana mereka mempelajari cara membuat kujana dan sajana mungkin saja sampai tingkat mahir. Setelah kembali mereka mungkin praktek satu dua kali, menghasilkan sedikit kujana dan sajana untuk dijual sedikit-sedikit dan untuk dipamerkan di berbagai arena pameran. Sesudah itu sampai sekarang, Kabupaten Nagekeo tak kunjung menjadi Kabupaten penghasil kujana dan sajana.
Hal ini terjadi karena tidak ada rencana tindak lanjut baik dari aspek personil, permodalan dan pemasarannya. Mustinya para pengrajin itu bergabung dalam koperasi, yang diberi perkuatan modal dan pendampingan sehingga mereka mampu mengadakan bahan baku secara kontinyu, memproduksinya dalam kuantitas yang memadai secara kontinyu dengann kualitas yang memadai sehingga memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan produk sejenis di pasaran sehingga mampu meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para pengrajinnya. Tetapi sekarang kujana dan sajana nyaris tidak nampak di pasaran. Jangan-jangan para pengrajin yang dikirim ke Luwu sudah lupa membuat kujana dan sajana karena sepulang dari sana karena berbagai keterbatasan tidak mempraktekan ketrampilannya membuat kujana dan sajana. Tetapi semua diam, tidak ada yang mempersoalkannya, kecuali saya pada hari ini seperti suara yang berseru di padang gurun. Karena di padang gurun, anjing menggonggong kafilah terus berlalu.
Budaya Menghargai Kesepakatan
Berkaitan dengan budaya menghargai kesepakatan adaungkapan adat yang bisa dikemukakan adalah: sezu ne zebu, zili pata ne peka mena, ulu ne subhu, kage ne sabhe, ka ne tata, inu sene, sua ne mae tei, waga ne mae aka. Tii ne mona wiki, pati ne mona lai.
Kita sepakat membangun Kabupaten Nagekeo dengan tujuan utama adalah pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Marilah kita lihat bersama apakah kesepakatan ini sudah kita wujudkan dalam usia kabupaten ini yang hari ini merayakan ulang tahunnya yang ke- 4. Untuk membangun Kabupaten ini kita menyerahkan tanah untuk pembangunan irigasi, bangunanumum dan lain-lain. Apakah kita masih pegang kesepakatan itu. Dalam hal penyerahan tanah bukan saja dituntut dari para pemilik tanah untuk tii mona wiki, pati mona laitetapi juga dituntut bahwa penyerahan itu disepakati untuk diatur peruntukannya dan hanya untuk kepentingan umum. Jangan ada oknum yang melanggar kesepakatan dengan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Dan apakah kita tetap pegang teguh kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak antara para pemilik tanah yang menyerahkan dan pemerintah yang menerima penyerahan dan mengatur peruntukannya. Dalam momentum reflektif seperti ini marilah kita bersama-sama melakukan introspeksi. Dan bila kita semua menghormati kesepakatan maka saya yakin tidak aka nada masalah yang menghambat pembangunan di segala bidang.
Budaya Anti Korupsi
Berkaitan dengan hal ini ada ungkapan leluhur yang mengatakan :zeta ulu nugu, zale taga laga. Koo ata mae tolo ala, koo kapo mae tolo dao.
Kalau budaya ini di pegang teguh, di Nagekeo tidak pernah akan ada korupsi. Tetapi fakta menunjukkan dalam kurun waktu 3 tahun jalan, ada kasus pengadaan mobil, ada kasus bendahara Bagian Tata Pemerintahan, Ada kasus pengerjaan jalan dan sedang ramai – ramai ada kasus pengadaan anakan mangga. Kita berdoa saja bahwa kasus-kasus itu cepat selesai dan memberikan pelajaran dan efek jera kepada kita semua. Dengan demikian kita bisa mengucapkan ungkapan adat tersebut diatas dengan kepala tegak.
V.          Budaya Hidup Hemat
Selain memiliki budaya kerja keras, leluhur kita juga mengajarkan :ngaza bo miu ne benu leu miu ne lewa, zebu mae siba ngelu, peka pau ngusa manga latu.
Kalau budaya ini kita pegang teguh, masyarakat Nagekeo tidak akan menjadi miskin dan tidak pernah akan mengalami rawan pangan. Falsafah ini bisa dilakukan selaras zaman. Kalau dulu menabung dan menyimpan di “tuku dhokeâ€sekarang kita bisa menabung di koperasi  atau di Bank. Tapi yang kini terjadi masyarakat kita  menjadi masyarakat pesta yang cenderung besar pasak dari tiang. Masyarakat kita tergantung pada beras raskin dan bantuan langsung tunai.
VI.       Budaya Menyelesaikan Masalah secara damai
Dalam menyelesaikan berbagai masalah, leluhur kita berpesan:ngaza nee gusu gasa gole gena, mai mosa ulu, mai laki eko, mai tiwo iku ena ngusu puu peo, babho walo pata moo tau tiba tana.
Bagi para leluhur kita, ini bukan sekedar ungkapan tetapi mereka praktekkan. Pada zaman dahulu kala hanya dengan hukum adat bahkan perang antara suku (papa wika) bisa diselesaikan dan berakhir dengan perdamaian (jawa wasa tura jaji), Semua persoalan bisa diselesaikan dengan babho. Bahkan dengan binatang pun masyarakat ada kesepakatan damai yang melahirkan budaya “toa lako/daiâ€Â yang hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu dengan perjanjian “gula nee wula, nga nee dala, wula koo ne tuga miu zaba tuba, dala koo ne saze miu su kumeâ€Â Tetapi di ulang tahun Kabupaten Nagekeo, kita masih terganjal dengan masalah Rendu-Raja, Masalah Ola Ia dengan Ngege Dhawe, masalah internal di Lape, masalah tanah TRANSAD dan masalah-masalah lainnya lagi.
Berkaitan dengan dengan berbagai hal di atas, untuk membangun Kabupaten Nagekeo yang berbasis budaya, leluhur kita kembali berpesan: “ Ajo lau mau poto molo manguâ€
PERAN BUDAYA DALAMPENYELENGGARAANÂ PEMBANGUNANÂ DESA DAN KELURAHAN
Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia bertugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Pemerintah Negara Indonesia mulai dari Pusat sampai ke desa dan kelurahan. Dan untuk melakukan tugas itu, Pemerintah harus menggerakan masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Kita tahu bahwa proses pembangunan di Indonesia dan pelaksanaannya berbeda dari masa ke masa. Pada zama Orde Baru pembangunan sangat sentralistik. Kita tergantung ke Pusat. Di era reformasi kita mengenal pembangunan partisipatif. Melaksanakan pembangunan partisipatif memerlukan seni tersendiri. Salah satu seninya adalah memahami kebudayaan masyarakat setempat.
Dengan memahami kebudayaan masyarakat maka proses pembangunan tidak terhambat. Budaya sebagai hasil karya cipta manusia, perannya adalah menunjang pembangunan. Untuk itu nilai-nilai luhur kebudayaan perlu kita perhatikan sehingga bisa menunjang pembangunan. Pemahaman akan budaya sendiri bisa menjadi panduan dan rambu-rambu dalam membuat kebijakan pembangunan di desa dan kelurahan.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, kita perlu arif mempertahankan nilai-nilai luhur kebudayaan kita. Globalisasi tidak bisa dihindari. Untuk itu mengutip pendapat Prof. Dr. Ki Supriyoko, M. Pd, kita perlu mempedomani apa yang dsebut sebagai Teori Trikon. Teori Trikon terdiri dari tiga komponen yaitu: Pertama, kontinuitas, melanjutkan budaya para leluhur bangsa yang mengandung nilai-nilai positif, Kedua, konvergensi, membuka peluang bagi budaya luar untuk berbaur dengan budaya kita, Ketiga, konsentrisitas, hasil pertemuan dengan budaya luar hendaknya dapat menghasilkan budaya (nilai) baru.
Jadi peran budaya dalam proses pembangunan  Desa dan kelurahan jelas yaitu untuk mendukung dan menunjang kegiatan pembangunan sejauh para pemimpin mengenal kebudayaan masyarakat dan memanfaatkannya untuk mempercepat kegiatan pembangunan dan dengan demikian akan memperoleh hasil yang memuaskan dan bermanfaat untuk masyarakat itu sendiri.
IV.         PENUTUP
Demikianlah, setelah memahami beberapa hal tersebut di atas, bapak ibu semua adalah para pemimpin di desa dan kelurahan dengan tugas mulia untuk menggerakan pembangunan di desa dan kelurahan (Ajo lau mau poto molo mangu). Gerakanlah pembangunan dengan berpedoman pada falsafah dan budaya kita.
Dalam berpedoman kepada budaya tentunya kepada nilai-nilai luhurnya yang positif. Dan kita harus memiliki keberanian untuk membuang budaya yang mengandung nilai-nilai yang negatif. Dengan demikian maka budaya kita akan bermanfaat untuk mempercepat proses pembangunan. Semoga
Dan saya menutup paparan sederhana ini dengan SA BHEA:
MAKU KITA HOGA NAGEKEO
ULU SOKE SUNGA EKO ORA BATA
LOGO KITA BEI KELI, TAGA KITA DERI MESI
KITA TA INE SA SUSU MITE, AME SA LALU TO
ZETA TOLO KITA PEDHE NIKA TUGA SA PODO
ZALE TEDA KITA INU TUA TUGA SA HEA
KITA NGUSA KOLO SA TOKO, TALI SA TEBU
BANI KITA PAPA KAPI, TEGO KITA PAPA LEU
TOO PEKA TOO, DAWI PEKA DAWI
DUA KITA DULU-DULU, NUKA KITA DHORE-DHORE
KUA KITA PAPA KESA, BOZA KITA PAPA PENU
MAI SAI KITA
POTU MOTU WEO JE
PEPE WEO KABUPATEN NAGEKEO
IMU MOO LILA DHU SIA
IMU MOO FANGA DHU DA
JEKA TANA ZEA, JEKA WATU WONGA
ZETA ULU KITA TUKU NUU BHIA NUNU TAA KAKA WUTU
ATA ZUDHU MONA ZUGHU
LAU EKO KITA TUE NEMO BHIA FEO TAA ADA EO
ATA KEKO MONA NEDHO
Sekian dan Terima kasih.
Masyarakat Nagekeo sebenarnya masyarakat yang paling beruntung. Karena menjelang pengresmian Kabupaten Nagekeo, dibuat sebuah seminar yang menghasilkan sebuah buku berjudul Rancang Bangun Nagekeo. Dalam buku itu tercantum MUKADIMAH yang merupakan amanat rakyat Nagekeo. Dengan buku itu diharapkan dalam membangun Nagekeo berpedoman kepada buku itu. Secara sederhana, dapat kita katakan bahwa penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KU APB) , Plafon dan Program Prioritas APBD, Rencana Strategis dan APBD Kabupaten Nagekeo berpedoman pada buku Rancang Bangun Nagekeo. Para Calon Bupati dan Wakil Bupati menyusun dan menawarkan visi,misi dan programnya harus mengacu kepada Buku Rancang Bangun Nagekeo. Kita mengharapkan bahwa semua itu sudah terjadi. Kalau belum, setiap ulang Tahun Nagekeo yang selalu bertepatan dengan masa adven, baiklah kita bertobat dan kembali ke jalan yang benar.
Untuk sarasehan ini Panitia minta saya ikut menyampaikan materi dengan topik Pembangunan Nagekeo Berbasis Budaya. Berbicara tentang budaya, para ahli seperti Prof. Dr. Kuncaraningrat misalnya mengatakan bahwa ‘kebudayaan’ adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia lewat proses belajar. (Seperti dikutip Pater Philipus Tule SVD dalam buku Rancang Bangun Nagekeo). Karena budaya/kebudayaan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia,maka manusia mengekspresikan budayanya dengan berbagai cara seperti ritual adat, tata krama pergaulan, tata cara kehidupan masyarakat atau seperti orang Nagekeo mengekspresikan budaya mereka melalui ungkapan-ungkapan adat.
Makalah sederhana ini mencoba menyampaiakn berbagai ungkapan adat yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Nagekeo baik sebagai sebuah komunitas kesatuan adat maupun sebagai masyarakat warga sebuah daerah otonom baru yang bernama Kabupaten Nagekeo. Ungkapan adat Nagekeo menyangkut berbagai aspek yang sangat luas dan beranekaragam. Dan kali ini saya mencoba menggali dan berbagi tentang beberapa hal sebagai berikut:
Budaya Gotong royong/Kerja sama dan taat azas
Ungkapan adat tentang ini adalah: Too jogho waga sama, bani papa kapi tego papa leu. Ili jo apa ili jo, mawe-mawe pao mawe-mawe, dalu keli atu dalu keli, ghozo-ghozo fea ghozo, nuka nua nuka zele nua, dala ola dala zele ola. Laa dheko zala, loza dheko nete, nangu wau nou, leta wau fata.
Masyarakat Nagekeo mengekspresikan budayanya ini bukan saja pada saat pemekaran melainkan sejak zaman Swapraja Nagekeo. Persawahan Mbay adalah monumen yang membuktikan semangat “too jogho waga sama, bani papa kapi tego papa leu. Pada saat menggali parit primer dan sekunder ketika bendungan dikerjakan oleh Flores May, seluruh masyarakat Kabupaten Nagekeo dikerahkan untuk  mengerjakannya.( Baca tulisan saya di Flores Pos tentang Irigasi Mbay Kiri dan Sawah)
Karena dalam sarasehan ini ada momentum napak tilas maka marilah kita memahami ungkapan-ungkapan adat yang berkaitan dengan gotong royong dan taat azas untuk melihat kembali bagaimana kita sama-sama berjuang untuk mekar dari Kabupaten Ngada dan membentuk Kabupaten Nagekeo.
Secara konstitusional, pemekaran Kabupaten Ngada dan Pembentukan Kabupaten Nagekeo mengacu kepada UU No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000. Berdasarkan kedua rujukan tersebut dan berbagai peraturan derivasi lainnya suatu daerah dapat dimekarkan sekurang-kurangnya harus melalui beberapa tahapan seperti: Adanya aspirasi masyarakat, adanya penelitian awal yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten Ngada), Ada rekomendasi dari Bupati (Bupati Ngada) dan ada Persetujuan  dari DPRD Kabupaten  (DPRD Kabupaten Ngada). Selanjutnya dikirim ke Provinsi (Provinsi NTT) untuk mendapat Rekomendasi Gubernur (Gubernur NTT) dan Persetujuan DPRD Provinsi (DPRD Provinsi NTT). Kemudian dikirim ke Pemerintah Pusat melalui Departemen Dalam Negeri RI, yang akan ditangani oleh Direktorat Jendral Otonomi Daerah untuk kemudian menyampaikan berbagai telaahan dan analisa kepada Tim Teknis Dewan Pertimnbangan Otonomi Daerah untuk dikaji.  Hasil pengkajian Tim Teknis DPOD yang mencakup berbagai Departemen disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri RI untuk menyusun Amanat Presiden sebagai syarat untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Kabupaten baru dalam hal ini Kabupaten Nagekeo. Kepada DPRI yang memiliki fungsi Legislasi. DPR RI membahasnya sesuai dengan mekanisme dan tata tertib DPR RI daam membahas sebuah RUU tentang pemekaran Daerah dan puji Tuhan, pada tanggal 8 Desember 2006, DPR RI mensahkan UU tentang Pemekaran Daerah.
Tahapan-tahapan tersebut menunjukkan bahwa jalan menuju pembentukan Kabupaten Nagekeo melewati proses penggalangan aspirasi dan proses politk yang berkaitan dengan aspek teknis dan aspek politik.
Dalam proses penggalangan aspirasi, marilah kita menyadari bahwa aspirasi untuk pembentukan Kabupaten Nagekeo sudah ada sejak awal kemerdekaan karena konon ada surat dari Swapraja Nagekeo yang ditujukan kepada Pemerintah Agung Republik Indonesia yang berisi permohonan agar Swapraja Nagekeo menjadi kabupaten sendiri. Kemudian pada tahun 60-an juga ada ide untuk pemekaran Kabupaten Ngada. Ide ini baru menyata pada tahun 2000-an yang harus kita jujur justru muncul dari masyarakat Nagekeo di Kupang yang melontarkan ide pembentukan Kabupaten Nagekeo Riung. Kemudian oleh pertimbangan jangan sampai mematikan Kabupaten induk, teman-teman dari Riung ikhlas keluar dari perjuangan ini dan membiarkan masyarakat Nagekeo terus menggalang aspirasi untuk pemekaran Kabupaten Nagekeo dengan Pembentukan Kabupaten Nagekeo. Dari berbagai pertemuan akhirnya dibentuklah Forum Perjuangan Pembentukan Kabupaten Nagekeo (FPPKN) di berbagai kota seperti di Ngada yang dipimpin oleh Bapak Antonius Bhia Wea (alm), Ende, Kupang dan Jakarta, yang tentunya dengan perannya masing-masing. Dalam konsep too jogho waga sama, bani papa kapi tego papa leu marilah kita sesama pejuang Kabupaten Nagekeo jangan saling mendiskreditkan dan juga jangan mengkultuskindividukan satu dua tokoh yang dapat melemahkan perjuangan kita membangun Kabupaten Nagekeo yang kita perjuangkan. Bahwa dalam perjuangan harus ada yang dalam ungkapan adat disebut “ngusa nee taa wuku ulu enga ekoâ€Â harus diakui dan berilah penghargaan kepada para pemimpin perjuangan itu dengan wajar. Karena ada ungkapan adat  yang mengatakan“ena loka deo tua, moi dhono enga ngusa nee taa lipi, nee taa dhengo, nee taa tau pata, loka moo banaâ€.
FPPKN menyerahkan aspirasi masyarakat untuk pemekaran Kabupaten Ngada dan pembentukan Kabupaten Nagekeo kepada Bupati Ngada dan Pimpinan DPRD Kabupaten Ngada. Dengan penyerahan ini dimulailah proses politik yang mengandung aspek teknis dan aspek politik. Di tingkat Kabupaten aspek teknisnya adalah penelitian awal oleh Pemerintah Daerah membutuhkan dana dari APBD Kabupaten Ngada. Agar aspek teknis ini dapat dilaksanakan maka perlu dukungan politik dari DPRD Kabupaten Ngada yang memiliki hak budget.
Dalam proses politik yang mengandung aspek teknis dan aspek politis, tidak bisa dilakukan tergesa-gesa. Ili jo apa ili jo, mawe-mawe pao mawe-mawe, dalu keli atu dalu keli, ghozo-ghozo fea ghozo-ghozo, nuka nua nuka zele nua, dala ola dala zele ola. Dalam proses politik, sejarah mencatat, Fraksi Partai GOLKAR lah yang pertama menyatakan dukungannya dalam suatu Pemandangan Umum Fraksi yang digelar sesudah FPPKN menyampaikan aspirasi ke DPRD Kabupaten Ngada. Dengan tetap memegang teguh falsafah laa dheko zala, loza dheko nete, nangu wau nou, leta wau fata, Bupati Ngada dan DPRD Kabupaten Ngada menanggapi aspirasi masyarakat tentang pemekaran Kabupaten Ngada dan pembentukan Kabupaten Nagekeo dengan tetap bepegang pada koridor aturan dan mekanisme politik yang seharusnya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan tetap taat azas, lahirlah Keputusan DPRD Kabupaten Ngada tentang Rekomendasi DPRD Kabupaten Ngada agar Pemerintah Kabupaten Ngada menyediakan dana Rp. 135.000.000,- untuk biaya penelitian awal dalam APBD Kabupaten Ngada. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Universitas Katolik Wira Mandira Kupang, meskipun ada indikator yang sebenarnya belum terpenuhi, Bupati Ngada Ir. Albert Nong Bota mengeluarkan Rekomendasi Bupati dan Ketua DPRD Fransiskus Xaverius Wawo BA menanda tangani Keputusan DPRD Kabupaten Ngada tentang Persetujuan DPRD terhadap Pemekaran Kabupaten Ngada dan Pembentukan Kabupaten Nagekeo. Juga DPRD Kabupaten Ngada membuat Keputusan DPRD Kabupaten Ngada tentang Mbay sebagai Ibu Kota Kabupaten Ngada dan rekomendasi DPRD Kabupaten Ngada yang menugaskan Pemerintah memperjuangkan pencabutan PP No. 65 Tahun 1998 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Ngada dari bajawa ke Mbay agar tidak ada masalah karena pada saat yang bersamaan Mbay menjadi Ibu Kota Kabupaten Ngada dan diusulkan menjadi calon Kabupaten Nagekeo. Dan mungkin banyak orang tidak tahu, proses administratif di tingkat Pusat, disaat genting tentang kebutuhan akan keputusan politik tentang ibu kota Kabupaten Nagekeo ada Surat Wakil Ketua DPRD Kabupaten yang mengatakan bahwa berdasarkan musyawarah besar masyarakat Nagekeo, Mbay telah disepakati menjadi Ibu Kota calon Kabupaten Nagekeo dan sambil menunggu Keputusan DPRD maka proses bisa dilanjutkan dan memang berdasarkan surat yang sedikit kontroversial itu proses penetapan ibu kota di tingkat pusat dapat dilangsungkan. Semua proses itu membutuhkan telaahan staf, loby politik antar personal, antar fraksi dan bahkan antar partai Politik. DPD Partai GOLKAR Kabupaten Ngada misalnya melakukan diskusi publik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk para Imam untuk membahas pemekaran Kabupaten Ngada dan pembentukan Kabupaten Nagekeo.
Dalam melancarkan hubungan kerja antara Pemerintah dan DPRD Kabupaten Ngada, kemudian menjalankan tugas-tugas Bupati ke tingkat Pusat berkaitan dengan Pemerintah, Bupati Ngada mempoercayakan penuh kepada Asisten tata Praja ketika itu John Elpi Parera, Kepala Bagian Tata Pemerintahan ketika itu Elias Djo dan dibantu sepenuhnya oleh seorang staf di Bagian Tata Pemerintahan waktu itu yang bernama Imanuel Ndun. Saya berani katakan ini karena pada waktu itu saya adalah Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ngada yang sering ditugaskan oleh Ketua DPRD Kabupaten Ngada memimpin Rapat DPRD Kabupaten Ngada yang membahas masalah Pemekaran Kabupaten, yang sering berdiskusi tentang hal-hal teknis untuk menggolkannya di DPRD Kabupaten Ngada. Karena proses di tingkat Kabupaten Ngada berjalan baik, maka selanjutnya proses di Provinsi dan Pusat Berjalan baik. Dan perlu diingat pula bahwa ketika proses pemekaran Kabupaten makin mendekati titik akhir yang menggembirakan, masyarakat Nagekeo membentuk Komite Pembentukan Kabupaten Nagekeo yang dipimpin Bapak Hieronimus Dapa Tunga. Dan semua jajaran di Pemerintah, di forum, di komite, di DPRD, di Partai Politik, di LSM dan lain-lain too jogho waga sama, bani papa kapi tego papa leumemperjuangkan Pemekaran Kabupaten Ngada dengan Pembentukan Kabupaten Nagekeo.
Dan sejarah juga mencatat ada yang berlaku de nia podi kita, wau mea ngasi pesa. Ada yang oka dhua bola telu, ada yang toko hepa ta gu. Untuk yang terkahir ini, biarlah di saat tana ne ja, watu ne keta, mese imu nee leza mena wa imu nee ae lau. Kini saatnya kita tetap bani papa kapi tego papa leu, too jogho waga sama, potu motu weo je Kabupaten Nagekeo, moo iwu beo, moo lila dhu sia, fanga dhu da. Uzu kita ine sa susu mite ame sa lalu to, zeta tolo kita pedhe nika tuga sa podo, zale teda kita inu tua tuga sa hea. Mae kita-kita naa, bhia ata-ata.  Â
Budaya Kerja Keras
Ketika tujuan kita sudah tercapai, Kabupaten Nagekeo sudah terbentuk, leluhur kita berpesanngaza moo muzi modhe, ngusa toni mula, peni wesi, ngana su, seda mane. Ngusa kungu bubu, logo una, ulu nana wunu, logo bala ko. Ngo mae mo, ghawo mae bhalo.
Pesan ini mengandung maksud masyarakat Kabupaten Nagekeo harus mampu memanfaatkan semua sumberdaya yang ada baik sumber daya manusia maupun sumberdaya alam. Sumber daya manusia berkaitan dengan aspek manajemen pengelolaan sumber daya alam mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penempatan personil, pengarahan, koordinasi sampai dengan pengawasa. Sumber daya alam kita mendukung usaha pertanian dalam arti luas yang akan menunjang pembangunan ekonomi Kabupaten Nagekeo. Perekonomian yang baik akan menunjang pendidikan dan kesehatan yang memadai. Pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan harus ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Toni mula wesi peni berkaitan dengan pengalihan dari pertanian tradisional yang subsisten ke pertanian modern yang berorientasi pasar. Yang menerapkan sapta usaha tani dengan baik dan benar. Yang memperhatikan kearifan lokal, kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan masyarakat. Dalam membangun pertanian barangkali konsep 5 T, (tana, toni,tuka, tuku, teka) perlu dijabarkan dengan baik. Kepemilikan tanah perlu diatur secara baik sehingga bisa dimanfaatkan untuk toni mulasehingga jangan lagi ada ungkapan yang mengatakan tana kami meze manga bholo mona toni mula apa. Wau kami lewa latu bholo woso wai koo watu. Dan selanjutnya hasil pertanian selain untuk makanan dan cadangan makanan juga untuk dijual yang diarahkan dari petik jual menjadi petik olah jual demi peningkatan penghasilan dan peningkatan kesejahtraan petani.
Ngana su dan seda maneberkaitan dengan kerajinan dan industri ruma tangga. Ngana sudiarahkan untuk anyaman yang bernilai jual tinggi. Seda mane juga diarahkan untuk membuat tenunan-tenunan yang bernilai jual tinggi yang tidak saja digunakan untuk urusan adat tetapi berorientasi pasar dan sesuai dengan kebutuhan pasar. Misalnya tidak sekedar menenun sarung dan selendang tetapi bisa juga untuk taplak meja, dasi dan sebagainya.
Pada momentum ulang tahun ini kita juga perlu refleksi bahwa kerja keras saja tidak cukup. Dibutuhkan manajemen pengelolaan yang baik. Ada banyak contoh yang menunjukkan kerj keras saja tidak cukup. Pada kesempatan ini saya ambil contoh sederhana tentang Kujana (Krupuk Jagung Nagekeo) dan Sajana (snack jagung Nagekeo). Karena menanam jagung sudah membudaya bagi masyarakat Nagekeo dan hasil panen jagung cukup baik, maka untuk memberikan nilai tambah bagi petani Nagekeo diperkenalkan teknik pengolahan jagung menjadi kujana dan sajana. Dan untuk belajar membuat kujana dan sajana maka para petani/pengrajin kita didampingi oleh para pejabat, penyuluh dan anggota DPRD berangkat ke Luwu di Sulawesi Tenggara. Disana mereka mempelajari cara membuat kujana dan sajana mungkin saja sampai tingkat mahir. Setelah kembali mereka mungkin praktek satu dua kali, menghasilkan sedikit kujana dan sajana untuk dijual sedikit-sedikit dan untuk dipamerkan di berbagai arena pameran. Sesudah itu sampai sekarang, Kabupaten Nagekeo tak kunjung menjadi Kabupaten penghasil kujana dan sajana.
Hal ini terjadi karena tidak ada rencana tindak lanjut baik dari aspek personil, permodalan dan pemasarannya. Mustinya para pengrajin itu bergabung dalam koperasi, yang diberi perkuatan modal dan pendampingan sehingga mereka mampu mengadakan bahan baku secara kontinyu, memproduksinya dalam kuantitas yang memadai secara kontinyu dengann kualitas yang memadai sehingga memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan produk sejenis di pasaran sehingga mampu meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para pengrajinnya. Tetapi sekarang kujana dan sajana nyaris tidak nampak di pasaran. Jangan-jangan para pengrajin yang dikirim ke Luwu sudah lupa membuat kujana dan sajana karena sepulang dari sana karena berbagai keterbatasan tidak mempraktekan ketrampilannya membuat kujana dan sajana. Tetapi semua diam, tidak ada yang mempersoalkannya, kecuali saya pada hari ini seperti suara yang berseru di padang gurun. Karena di padang gurun, anjing menggonggong kafilah terus berlalu.
Budaya Menghargai Kesepakatan
Berkaitan dengan budaya menghargai kesepakatan adaungkapan adat yang bisa dikemukakan adalah: sezu ne zebu, zili pata ne peka mena, ulu ne subhu, kage ne sabhe, ka ne tata, inu sene, sua ne mae tei, waga ne mae aka. Tii ne mona wiki, pati ne mona lai.
Kita sepakat membangun Kabupaten Nagekeo dengan tujuan utama adalah pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Marilah kita lihat bersama apakah kesepakatan ini sudah kita wujudkan dalam usia kabupaten ini yang hari ini merayakan ulang tahunnya yang ke- 4. Untuk membangun Kabupaten ini kita menyerahkan tanah untuk pembangunan irigasi, bangunanumum dan lain-lain. Apakah kita masih pegang kesepakatan itu. Dalam hal penyerahan tanah bukan saja dituntut dari para pemilik tanah untuk tii mona wiki, pati mona laitetapi juga dituntut bahwa penyerahan itu disepakati untuk diatur peruntukannya dan hanya untuk kepentingan umum. Jangan ada oknum yang melanggar kesepakatan dengan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Dan apakah kita tetap pegang teguh kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak antara para pemilik tanah yang menyerahkan dan pemerintah yang menerima penyerahan dan mengatur peruntukannya. Dalam momentum reflektif seperti ini marilah kita bersama-sama melakukan introspeksi. Dan bila kita semua menghormati kesepakatan maka saya yakin tidak aka nada masalah yang menghambat pembangunan di segala bidang.
Budaya Anti Korupsi
Berkaitan dengan hal ini ada ungkapan leluhur yang mengatakan :zeta ulu nugu, zale taga laga. Koo ata mae tolo ala, koo kapo mae tolo dao.
Kalau budaya ini di pegang teguh, di Nagekeo tidak pernah akan ada korupsi. Tetapi fakta menunjukkan dalam kurun waktu 3 tahun jalan, ada kasus pengadaan mobil, ada kasus bendahara Bagian Tata Pemerintahan, Ada kasus pengerjaan jalan dan sedang ramai – ramai ada kasus pengadaan anakan mangga. Kita berdoa saja bahwa kasus-kasus itu cepat selesai dan memberikan pelajaran dan efek jera kepada kita semua. Dengan demikian kita bisa mengucapkan ungkapan adat tersebut diatas dengan kepala tegak.
V.          Budaya Hidup Hemat
Selain memiliki budaya kerja keras, leluhur kita juga mengajarkan :ngaza bo miu ne benu leu miu ne lewa, zebu mae siba ngelu, peka pau ngusa manga latu.
Kalau budaya ini kita pegang teguh, masyarakat Nagekeo tidak akan menjadi miskin dan tidak pernah akan mengalami rawan pangan. Falsafah ini bisa dilakukan selaras zaman. Kalau dulu menabung dan menyimpan di “tuku dhokeâ€sekarang kita bisa menabung di koperasi  atau di Bank. Tapi yang kini terjadi masyarakat kita  menjadi masyarakat pesta yang cenderung besar pasak dari tiang. Masyarakat kita tergantung pada beras raskin dan bantuan langsung tunai.
VI.       Budaya Menyelesaikan Masalah secara damai
Dalam menyelesaikan berbagai masalah, leluhur kita berpesan:ngaza nee gusu gasa gole gena, mai mosa ulu, mai laki eko, mai tiwo iku ena ngusu puu peo, babho walo pata moo tau tiba tana.
Bagi para leluhur kita, ini bukan sekedar ungkapan tetapi mereka praktekkan. Pada zaman dahulu kala hanya dengan hukum adat bahkan perang antara suku (papa wika) bisa diselesaikan dan berakhir dengan perdamaian (jawa wasa tura jaji), Semua persoalan bisa diselesaikan dengan babho. Bahkan dengan binatang pun masyarakat ada kesepakatan damai yang melahirkan budaya “toa lako/daiâ€Â yang hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu dengan perjanjian “gula nee wula, nga nee dala, wula koo ne tuga miu zaba tuba, dala koo ne saze miu su kumeâ€Â Tetapi di ulang tahun Kabupaten Nagekeo, kita masih terganjal dengan masalah Rendu-Raja, Masalah Ola Ia dengan Ngege Dhawe, masalah internal di Lape, masalah tanah TRANSAD dan masalah-masalah lainnya lagi.
Berkaitan dengan dengan berbagai hal di atas, untuk membangun Kabupaten Nagekeo yang berbasis budaya, leluhur kita kembali berpesan: “ Ajo lau mau poto molo manguâ€
PERAN BUDAYA DALAMPENYELENGGARAANÂ PEMBANGUNANÂ DESA DAN KELURAHAN
Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia bertugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Pemerintah Negara Indonesia mulai dari Pusat sampai ke desa dan kelurahan. Dan untuk melakukan tugas itu, Pemerintah harus menggerakan masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Kita tahu bahwa proses pembangunan di Indonesia dan pelaksanaannya berbeda dari masa ke masa. Pada zama Orde Baru pembangunan sangat sentralistik. Kita tergantung ke Pusat. Di era reformasi kita mengenal pembangunan partisipatif. Melaksanakan pembangunan partisipatif memerlukan seni tersendiri. Salah satu seninya adalah memahami kebudayaan masyarakat setempat.
Dengan memahami kebudayaan masyarakat maka proses pembangunan tidak terhambat. Budaya sebagai hasil karya cipta manusia, perannya adalah menunjang pembangunan. Untuk itu nilai-nilai luhur kebudayaan perlu kita perhatikan sehingga bisa menunjang pembangunan. Pemahaman akan budaya sendiri bisa menjadi panduan dan rambu-rambu dalam membuat kebijakan pembangunan di desa dan kelurahan.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, kita perlu arif mempertahankan nilai-nilai luhur kebudayaan kita. Globalisasi tidak bisa dihindari. Untuk itu mengutip pendapat Prof. Dr. Ki Supriyoko, M. Pd, kita perlu mempedomani apa yang dsebut sebagai Teori Trikon. Teori Trikon terdiri dari tiga komponen yaitu: Pertama, kontinuitas, melanjutkan budaya para leluhur bangsa yang mengandung nilai-nilai positif, Kedua, konvergensi, membuka peluang bagi budaya luar untuk berbaur dengan budaya kita, Ketiga, konsentrisitas, hasil pertemuan dengan budaya luar hendaknya dapat menghasilkan budaya (nilai) baru.
Jadi peran budaya dalam proses pembangunan  Desa dan kelurahan jelas yaitu untuk mendukung dan menunjang kegiatan pembangunan sejauh para pemimpin mengenal kebudayaan masyarakat dan memanfaatkannya untuk mempercepat kegiatan pembangunan dan dengan demikian akan memperoleh hasil yang memuaskan dan bermanfaat untuk masyarakat itu sendiri.
IV.         PENUTUP
Demikianlah, setelah memahami beberapa hal tersebut di atas, bapak ibu semua adalah para pemimpin di desa dan kelurahan dengan tugas mulia untuk menggerakan pembangunan di desa dan kelurahan (Ajo lau mau poto molo mangu). Gerakanlah pembangunan dengan berpedoman pada falsafah dan budaya kita.
Dalam berpedoman kepada budaya tentunya kepada nilai-nilai luhurnya yang positif. Dan kita harus memiliki keberanian untuk membuang budaya yang mengandung nilai-nilai yang negatif. Dengan demikian maka budaya kita akan bermanfaat untuk mempercepat proses pembangunan. Semoga
Dan saya menutup paparan sederhana ini dengan SA BHEA:
MAKU KITA HOGA NAGEKEO
ULU SOKE SUNGA EKO ORA BATA
LOGO KITA BEI KELI, TAGA KITA DERI MESI
KITA TA INE SA SUSU MITE, AME SA LALU TO
ZETA TOLO KITA PEDHE NIKA TUGA SA PODO
ZALE TEDA KITA INU TUA TUGA SA HEA
KITA NGUSA KOLO SA TOKO, TALI SA TEBU
BANI KITA PAPA KAPI, TEGO KITA PAPA LEU
TOO PEKA TOO, DAWI PEKA DAWI
DUA KITA DULU-DULU, NUKA KITA DHORE-DHORE
KUA KITA PAPA KESA, BOZA KITA PAPA PENU
MAI SAI KITA
POTU MOTU WEO JE
PEPE WEO KABUPATEN NAGEKEO
IMU MOO LILA DHU SIA
IMU MOO FANGA DHU DA
JEKA TANA ZEA, JEKA WATU WONGA
ZETA ULU KITA TUKU NUU BHIA NUNU TAA KAKA WUTU
ATA ZUDHU MONA ZUGHU
LAU EKO KITA TUE NEMO BHIA FEO TAA ADA EO
ATA KEKO MONA NEDHO
Sekian dan Terima kasih.