Ritual Pemulihan Kacang - Nuka bue
Aooo weki ooo.. Aooo masa oooo... Aooo bue ooo...
Bue ana Bhela li...Te meye lewa, bue ana Bhela li. Te dari dago, bue ta du...Ta yili.. bue ta baka mena..bue ta baka yale...
Mai deko rere gemo.. gapa rere gama..." (Kacang orang Bhela yang bernas merekah, kacang orang Bhela yang lebat bergelantungan, kacang dari lembah selatan, kacang dari ladang di sebelah timur, kacang dari ladang sebelah barat, mari merapat di tempat ini).
------------------------------------
DEMIKIAN syair yang dilantunkan berulang-ulang dalam prosesi perarakan daun kacang. Benediktus Bedi (70), kepala suku Bhela bersama para kepala bhisu bersahut-sahutan memadahkan syair-syair pemujaan terhadap daun-daun kacang dalam arak-arakan panjang menuju rumah adat (sao eda).
Sementara dari dalam sao eda, bunyi toda bewu (alat musik bambu) terdengar syahdu, membangkitkan suasana magis. Para penabuh tiada hentinya menabuh toda dan bewu menyambut arak arakan daun kacang yang hendak dibawa masuk ke dalam rumah adat.
Kepada Pos Kupang, Willem Mite, salah satu mosa laki (pemangku adat) Bhela menjelaskan, "Ya, masyarakat adat Bhela sedang melaksanakan ritual adat nuka bue. Nuka berarti menuju, membawa masuk. Bue berarti kacang. Nuka Bue adalah ritual membawa atau mengarak kacang dari kebun ke dalam kampung. Sebelum ritual dilakukan, orang Bhela dilarang keras membawa kacang ke dalam kampung ataupun mengonsumsi kacang baik daun maupun bijinya.
Orang Bhela meyakini kalau hal ini dilanggar akan terjadi bencana seperti disambar petir atau diserang angin puting beliung.
Sejak zaman dulu kacang menjadi makanan utama orang Bhela. Para wanita Bhela biasanya memanfaatkan kacang sebagai campuran utama ketika memasak beras (tua ka), jewawut (wete), sorghum (olo wolo), atau ubi (uwi). Sedang daun kacang dimanfaatkan sebagai lalapan (upa ao) yang dipadukan dengan sambal kelapa (ko sie nio) atau juga sebagai bahan membuat ame ae (semacam bubur manado). Â
Menurut Willem, nuka bue kali ini agak istimewa karena baru dilakukan lagi setelah masa jedah yang panjang. Nuka bue terakhir dilakukan hampir dua dekade lalu. Memang nuka bue berkaitan erat dengan sao eda (rumah adat).
Sao eda orang Bhela baru dibangun lagi tahun 2013, sehingga berbagai upacara ritual adat baru bisa dilaksanakan setelah sao eda dibangun. Â
Nuka bue hanya salah satu dari sekian banyak ritual adat pada komunitas adat Bhela. Ritual adat lainnya seperti nuka seko, nuka uwi, dai (berburu) juga baru dilaksanakan mulai tahun ini.
Ritual nuka bue dilaksanakan pada bulan Februari atau Maret setiap tahun. Pada bulan itu biasanya kacang mulai berbuah. Kepala suku Bhela bersama para kepala bhisu melakukan pertemuan untuk menetapkan jadwal dan mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan ritual. Ritual dilakukan senja hari menjelang malam.
Acara diawali dengan pu buku. Pu buku adalah semacam upacara inisiasi penerimaan laki laki dewasa yang dianggap layak dari setiap bhisu untuk terlibat dalam jamuan adat (ka buku) yang dilakukan oleh ketua suku Bhela. Hanya mereka yang telah melewati ritual pu buku boleh terlibat dalam ka buku.
Setelah ritual pu buku selesai dilanjutkan dengan ritual pala wunu bue atau penjemputan daun kacang dari gerbang kampung. Dua ikat daun kacang disiapkan masing-masing oleh bhisu Lokarapa Papa Yale dan Lokarapa Papa Mena.
Bhisu Beba menyiapkan sebuah tabung yang terbuat dari tanduk kerbau. Tabung tanduk ini berisi arak bercampur air putih dan air tajin. Ketua suku Bhela mengawali ritual dengan fedhi atau pemberian sesajen kepada leluhur sekaligus memohon restu leluhur untuk kegiatan yang sedang dan akan berlangsung.
Nama para leluhur yang menurunkan orang Bhela dari generasi ke generasi disapa satu persatu. Upacara fedhi diakhiri dengan acara makan bersama yang menunya terdiri dari nasi, daging ayam, sambal dari wijen (ko sie lenga) dan arak sebagai simbol kebersamaan dengan para leluhur.
Setelah itu perarakan pemuliaan kacang pun dimulai. Pemegang daun kacang dan tabung tanduk mendahului, disusul oleh ketua suku Bhela dan para kepala bhisu.
Pada saat perarakan, rei bue atau nyanyian puji pujian terhadap kacangpun dimulai. Rei bue mengisahkan tentang kacang sebagai makanan kebanggaan, juga ucapan syukur kepada yang maha tinggi atas anugerah kesuburan tanah Bhela.
Ketua suku Bhela mengawali rei dan dikuti oleh para kepala dan anggota bhisu. Rei bue dimadahkan bersahut-sahutan. Selama perarakan, toda bewu di rumah adat (sao eda) terus ditabuh.
Pada saat rombongan perarakan tiba di gerbang kampung, di area batu megalit yang disebut ngii kojo, daun kacang direciki dengan air dari tabung tanduk. Hal ini menjadi simbol penyucian, tolak bala dan penyakit.Â
         ***
Hal yang sama juga dilakukan di tengah kampung di area megalith watu woge. Perarakan berakhir di rumah adat (sao eda). Di sini daun kacang disambut dengan pute wutu atau irama musik sakral toda bewu yang menandai masuknya daun kacang ke dalam sao eda. Satu ikat daun kacang kemudian digantung di sao eda dan di atas peo (tiang kayu bercabang dua symbol pemersatu kampung).
Satu ikatnya lagi dibagi kepada masing-masing enam bhisu untuk dinikmati sekaligus menjadi tanda bahwa sejak saat itu daun kacang sudah boleh dimakan oleh setiap anggota suku.
Upacara nuka bue belum selesai. Pada saat subuh dilanjutkan dengan teke gale. Teke gale adalah nyanyian yang dilakukan sambil duduk di sao eda yang mengisahkan perjalanan dan perjuangan leluhur hingga terbentuknya komunitas adat Bhela. Yang boleh mengikuti teke gale hanya laki laki dewasa yang telah mengikuti pu buku.
Acara teke gale ditutup dengan pute wutu di atas sao eda. Sambil menanti lanjutan kegiatan malam berikutnya dilanjutkan dengan latihan menabuh toda bewu. Inilah saat yang dinantikan oleh anak anak dan remaja yang ingin berlatih menabuh toda bewu.
Nuka bue sesungguhnya baru selesai pada subuh hari berikutnya. Teke gale dilanjutkan kembali untuk kemudian diakhiri dengan mae. Secara harafiah mae berarti jiwa atau roh. Mae sesungguhnya adalah musik sakral toda bewu yang ditabuh dengan tujuan untuk mengumpulkan dan menghadirkan arwah leluhur. Maksudnya agar para leluhur memberikan dukungan, perlindungan, dan bimbingan terhadap seluruh rencana dan kegiatan dimasa yang akan datang.
Para penabuh toda bewu untuk mae tidak boleh melakukan kesalahan saat menabuh. Kesalahan dalam menabuh menjadi pertanda akan ketidakberesan dalam rumah besar atau bhisu manga. Dendanya berupa kerbau atau babi besar untuk pemulihan atau penyilihan. Mae mengakhiri seluruh rangakaian kegiatan nuka bue.
Menanggapi pelaksanaan ritual nuka bue tahun ini, Willem Mite mengatakan dengan bijak.
Menurutnya, nuka bue merupakan ritual penting bagi  orang Bhela untuk menegaskan relasi harmonisnya dengan Pencipta, leluhur, dan alam semesta.
Melalui ritual adat nuka bue, orang Bhela mempersembahkan panenan terbaik bagi sang pemberi kehidupan dan para leluhur, serentak pada saat yang sama mereka menyerap nutrisi jiwa untuk terus menghidupi dan mewariskan tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi.
Bue ana Bhela li...Te meye lewa, bue ana Bhela li. Te dari dago, bue ta du...Ta yili.. bue ta baka mena..bue ta baka yale...
Mai deko rere gemo.. gapa rere gama..." (Kacang orang Bhela yang bernas merekah, kacang orang Bhela yang lebat bergelantungan, kacang dari lembah selatan, kacang dari ladang di sebelah timur, kacang dari ladang sebelah barat, mari merapat di tempat ini).
------------------------------------
DEMIKIAN syair yang dilantunkan berulang-ulang dalam prosesi perarakan daun kacang. Benediktus Bedi (70), kepala suku Bhela bersama para kepala bhisu bersahut-sahutan memadahkan syair-syair pemujaan terhadap daun-daun kacang dalam arak-arakan panjang menuju rumah adat (sao eda).
Sementara dari dalam sao eda, bunyi toda bewu (alat musik bambu) terdengar syahdu, membangkitkan suasana magis. Para penabuh tiada hentinya menabuh toda dan bewu menyambut arak arakan daun kacang yang hendak dibawa masuk ke dalam rumah adat.
Kepada Pos Kupang, Willem Mite, salah satu mosa laki (pemangku adat) Bhela menjelaskan, "Ya, masyarakat adat Bhela sedang melaksanakan ritual adat nuka bue. Nuka berarti menuju, membawa masuk. Bue berarti kacang. Nuka Bue adalah ritual membawa atau mengarak kacang dari kebun ke dalam kampung. Sebelum ritual dilakukan, orang Bhela dilarang keras membawa kacang ke dalam kampung ataupun mengonsumsi kacang baik daun maupun bijinya.
Orang Bhela meyakini kalau hal ini dilanggar akan terjadi bencana seperti disambar petir atau diserang angin puting beliung.
Sejak zaman dulu kacang menjadi makanan utama orang Bhela. Para wanita Bhela biasanya memanfaatkan kacang sebagai campuran utama ketika memasak beras (tua ka), jewawut (wete), sorghum (olo wolo), atau ubi (uwi). Sedang daun kacang dimanfaatkan sebagai lalapan (upa ao) yang dipadukan dengan sambal kelapa (ko sie nio) atau juga sebagai bahan membuat ame ae (semacam bubur manado). Â
Menurut Willem, nuka bue kali ini agak istimewa karena baru dilakukan lagi setelah masa jedah yang panjang. Nuka bue terakhir dilakukan hampir dua dekade lalu. Memang nuka bue berkaitan erat dengan sao eda (rumah adat).
Sao eda orang Bhela baru dibangun lagi tahun 2013, sehingga berbagai upacara ritual adat baru bisa dilaksanakan setelah sao eda dibangun. Â
Nuka bue hanya salah satu dari sekian banyak ritual adat pada komunitas adat Bhela. Ritual adat lainnya seperti nuka seko, nuka uwi, dai (berburu) juga baru dilaksanakan mulai tahun ini.
Ritual nuka bue dilaksanakan pada bulan Februari atau Maret setiap tahun. Pada bulan itu biasanya kacang mulai berbuah. Kepala suku Bhela bersama para kepala bhisu melakukan pertemuan untuk menetapkan jadwal dan mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan ritual. Ritual dilakukan senja hari menjelang malam.
Acara diawali dengan pu buku. Pu buku adalah semacam upacara inisiasi penerimaan laki laki dewasa yang dianggap layak dari setiap bhisu untuk terlibat dalam jamuan adat (ka buku) yang dilakukan oleh ketua suku Bhela. Hanya mereka yang telah melewati ritual pu buku boleh terlibat dalam ka buku.
Setelah ritual pu buku selesai dilanjutkan dengan ritual pala wunu bue atau penjemputan daun kacang dari gerbang kampung. Dua ikat daun kacang disiapkan masing-masing oleh bhisu Lokarapa Papa Yale dan Lokarapa Papa Mena.
Bhisu Beba menyiapkan sebuah tabung yang terbuat dari tanduk kerbau. Tabung tanduk ini berisi arak bercampur air putih dan air tajin. Ketua suku Bhela mengawali ritual dengan fedhi atau pemberian sesajen kepada leluhur sekaligus memohon restu leluhur untuk kegiatan yang sedang dan akan berlangsung.
Nama para leluhur yang menurunkan orang Bhela dari generasi ke generasi disapa satu persatu. Upacara fedhi diakhiri dengan acara makan bersama yang menunya terdiri dari nasi, daging ayam, sambal dari wijen (ko sie lenga) dan arak sebagai simbol kebersamaan dengan para leluhur.
Setelah itu perarakan pemuliaan kacang pun dimulai. Pemegang daun kacang dan tabung tanduk mendahului, disusul oleh ketua suku Bhela dan para kepala bhisu.
Pada saat perarakan, rei bue atau nyanyian puji pujian terhadap kacangpun dimulai. Rei bue mengisahkan tentang kacang sebagai makanan kebanggaan, juga ucapan syukur kepada yang maha tinggi atas anugerah kesuburan tanah Bhela.
Ketua suku Bhela mengawali rei dan dikuti oleh para kepala dan anggota bhisu. Rei bue dimadahkan bersahut-sahutan. Selama perarakan, toda bewu di rumah adat (sao eda) terus ditabuh.
Pada saat rombongan perarakan tiba di gerbang kampung, di area batu megalit yang disebut ngii kojo, daun kacang direciki dengan air dari tabung tanduk. Hal ini menjadi simbol penyucian, tolak bala dan penyakit.Â
         ***
Hal yang sama juga dilakukan di tengah kampung di area megalith watu woge. Perarakan berakhir di rumah adat (sao eda). Di sini daun kacang disambut dengan pute wutu atau irama musik sakral toda bewu yang menandai masuknya daun kacang ke dalam sao eda. Satu ikat daun kacang kemudian digantung di sao eda dan di atas peo (tiang kayu bercabang dua symbol pemersatu kampung).
Satu ikatnya lagi dibagi kepada masing-masing enam bhisu untuk dinikmati sekaligus menjadi tanda bahwa sejak saat itu daun kacang sudah boleh dimakan oleh setiap anggota suku.
Upacara nuka bue belum selesai. Pada saat subuh dilanjutkan dengan teke gale. Teke gale adalah nyanyian yang dilakukan sambil duduk di sao eda yang mengisahkan perjalanan dan perjuangan leluhur hingga terbentuknya komunitas adat Bhela. Yang boleh mengikuti teke gale hanya laki laki dewasa yang telah mengikuti pu buku.
Acara teke gale ditutup dengan pute wutu di atas sao eda. Sambil menanti lanjutan kegiatan malam berikutnya dilanjutkan dengan latihan menabuh toda bewu. Inilah saat yang dinantikan oleh anak anak dan remaja yang ingin berlatih menabuh toda bewu.
Nuka bue sesungguhnya baru selesai pada subuh hari berikutnya. Teke gale dilanjutkan kembali untuk kemudian diakhiri dengan mae. Secara harafiah mae berarti jiwa atau roh. Mae sesungguhnya adalah musik sakral toda bewu yang ditabuh dengan tujuan untuk mengumpulkan dan menghadirkan arwah leluhur. Maksudnya agar para leluhur memberikan dukungan, perlindungan, dan bimbingan terhadap seluruh rencana dan kegiatan dimasa yang akan datang.
Para penabuh toda bewu untuk mae tidak boleh melakukan kesalahan saat menabuh. Kesalahan dalam menabuh menjadi pertanda akan ketidakberesan dalam rumah besar atau bhisu manga. Dendanya berupa kerbau atau babi besar untuk pemulihan atau penyilihan. Mae mengakhiri seluruh rangakaian kegiatan nuka bue.
Menanggapi pelaksanaan ritual nuka bue tahun ini, Willem Mite mengatakan dengan bijak.
Menurutnya, nuka bue merupakan ritual penting bagi  orang Bhela untuk menegaskan relasi harmonisnya dengan Pencipta, leluhur, dan alam semesta.
Melalui ritual adat nuka bue, orang Bhela mempersembahkan panenan terbaik bagi sang pemberi kehidupan dan para leluhur, serentak pada saat yang sama mereka menyerap nutrisi jiwa untuk terus menghidupi dan mewariskan tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi.