Pentingnya Melestarikan Budaya

Sebelum masuknya pemerintahan kolonial Belanda (1906) maupun masuknya agama Katolik  oleh misionaris SVD ke Nagekeo (1911), yang oleh orang Nagekeo disebut “tua ma mona nuka”, masyarakat Nagekeo hidup menurut tatanan adat dan budayanya. Masyarakat Nagekeo hidup dalam suasana aman dan damai. Memang konon ada perang antara suku (papa wika ta’a) tetapi dengan kearifan lokal mereka bisa berdamai melalui “babho”(bermusyawarah) untuk berdamai dan mereka taat kepada hasil “babho” apalagi sampai dengan “tua/tura jaji” (perdamaian yang berlaku turun temurun dari generasi ke generasi.

Mereka hidup makmur dan sejahtera menurut ukuran zaman itu dan dapat, mencukupi kehidupan mereka melalui toni mula, wesi peni, seda mane dan ngana su(menanam, memelihara ternak, menenun dan menganyam). Oleh kegiatan ini kebutuhan pokok mereka untuk sandang, pangan, papan, dapat terpenuhi. Kalaupun ada yang tidak ada di wilayah mereka maka mereka akan mencari ke wilayah lain dengan pergi mencari sesuatu (nebo), saling mengunjungi (papa dhesi dhato, papa na mai), papa pai ‘oa/pai kega (saling meminta), papa ti’i to (saling memberi) dan juga papa sogo tana/sogo waga (saling pinjam meminjam). Sistem perdagangan tradisionil yaitu “barter” (papa geu). Perdagangan ini melahirkan istilah “tabu podo” antara orang Riung dan Orang Nage (tempat pertukaran periuk dari Riung dan makanan lokal dan pinang kering dari Nage). Ada istilah “’aku pazo”, yaitu cara orang Nage datang ke wilayah Mbay minta“pazo” (garam hitam) di keluarga mereka yang ada di Mbay. Demikian pun sebaliknya“hoga Bai” edi ika, loge koli, loge bo, tali kuwa, pazo ena kota (orang Mbay membawa ikan, pucuk gebang, pucuk koli/lontar, tali dari serat gebang dan garam hitam dalam wadah dari anyaman daun lontar) untuk ditukarkan dengan makanan lokal dengan orang Nage. Makanan lokal adalah padi, jagung, jewawut.


*Struktur Masyarakat Adat Nagekeo


Sebagaimana masyarakat pada umumnya, masyarakat adat Nagekeo pada dasarnya adalah kumpulan indivdu. Di Nagekeo, kumpulan individu ini secara genealogis menghimpun diri dalam “sa’o”yang bukan saja bermakna bangunan rumah melainkan kumpulan beberapa individu dengan satu Kepala Keluarga. Ungkapan adat untuk sa’o ini disebut dengan beberapa istilah: toko teda li’e sa’o(orang yang tinggal dalam satu rumah), kemudian berkembang menjadi “sa’o meze teda lewa” (keluarga besar yang digambarkan dengan rumah yang luas dan balai-balai yang panjang). Kumpulan sa’omembentuk“woe”/hoga/suku.Woe/suku/hoga, yang dapat digunakan untuk kelompok genealogis yang sama-sama memiliki “sa’o waja” (rumah adat), “buku gua” (upacara adat/ritual adat). Namun, juga dapat digunakan untuk kelompok genealogis yang lebih besar.

Contoh konkrit masyarakat Nagekeo, yang menurut Prof. Gregory Forth dalam bukunya Beneath The Volcano, yang sudah diterjemahkan menjadi  Di Bawah Kaki Gunung Ebulobo, adalah masyarakat yang tinggal di sekeliling kaki gunung Ebulobo, dan menganggap gunung Ebulobo sebagai pusat kosmis mereka, sebenarnya terdiri dari beberapa kelompok masyarakat. Mereka merasa satu kesatuan masyarakat melalui ungkapan “ulu soke sunga, eko ora bata, logo kami be’i keli, taga kami deri mesi”. Dalam dialek Nage, kelompok masyarakat Nagekeo terdiri dari Hoga Bai, Hoga Toto, Hoga Edu, Hoga Mude, Hoga Doa, Hoga Mau, Hoga Wolozili, Hoga Nage, Hoga Deru-Wae, Hoga Solo-Rowa. Di dalam kelompok Hoga Bai, ada Hoga Labo Lewa, Hoga Nataia, Hoga Lape, Hoga Danga, Hoga Nggolo Mbay, Hoga Boa Ras, Hoga Dhawe, Hoga Boa Maki dlll (maaf kalau ada yang tidak tersebutkan). Di dalam kelompok Hoga Edu ada lagi kelompok Hoga Jawa Kisa, Hoga Edu Ola, Hoga Jawa Tiwa, Hoga Tutu Bhada, Hoga Lari, Hoga Segho-Wololuba dll (maaf kalau ada yang tidak tersebutkan. Mungkin masih ada lagi kelompok lebih kecil berdasarkan Sa’o Waja dan Buku Gua.

Contoh Hoga Nage, ada sub kelompok Hoga Deu, Hoga Tegu, Hoga Dhuge, Hoga Saga Enge, Hoga Kisa ‘Ola, Hoga Koba Jawa, Hoga Naka Sodha, Hoga Mudi, Hoga Ua, Hoga Nila, Hoga Wolowea dan banyak lagi. Selanjutnya Hoga Deu ada lagi sub Kelompok Deu Boawae ta ne’e Sa’o Waja, ne’e buku Etu, ne’e buku To’a Lako. Deu Tolo Pa, ta ne’e Sa’o Waja, ne’e buku wela nio. Deu Nunu Kae, ne’e Sa’o Waja, ne’e buku Etu. Deu ta Owa, ne’e sa’o Waja dan masih ada lagi.

Sa’o teda, selain bergabung sesuai dengan woe, ada juga yang bergabung dalam kelompok yang disebut “Bo’a”, Beberapa woe sepakat membangun bersama sebuah perkampungan. Prosesnya mulai dari “titi du’e, toa koba, toka bo’a ona ‘ola dan pa toka su’a (merintis dan membabat hutan belukar, membangun perkampungan dan meresmikan sebagai kampung adat). Di kampung adat ini orang boleh membangun rumah adat, mengikat benang (pojo pete), mewarnai benang(kolu sewu), menenun (seda mane). Boleh melakukan potong gigi anak perempuan dan yang terakhir boleh menguburkan dalam kampung orang yang sudah sempurna pendewasaan secara adat. (Nage: tau ngi’i ‘ae).

Dengan membangun perkampungan kita mengenal istilah “bo’a ‘ola” yang memiliki “‘ulu eko” (arah perkampungan dengan “kepala” dan “ekor” nya). Dengan adanya perkampungan maka kita mengenal orang yang memimpin dan mengatur dalam kampung (moi wuku ‘ulu ‘enga ‘eko). Ada ungkapan “mosa ‘ulu laki ‘eko  dan “mosa bo’a laki ‘ola” (pemimpin dalam kampung. Didalam kampung adatlah orang melaksanakan “buku gua/buku nete”(upacara dan ritual adat.

Beberapa woe yang berbeda bisa membentuk kelompok berdasarkan PEO(tiang pemali yang merupakan lambang persatuan yang dipancangkan di tengah kampung) membentuk kelompok yang disebut “peo ‘oko nabe fa” . peo oko nabe fa: adalah kesepakatan yang dibuat karena kesamaan dan kepentingan tertentu. Pada saat “pogo peo” (potong kayu pemali) dan“bhei nabe” (mengangkat batu persembahan) ada pembagian tugas. Adasaka pu’u (Pemimpin), saka lobo (orang kedua), dan pembawa panji-panji yang disebut lado bepi, lado mogo/ada iwu dan sa’a tugu-tugu. Di kampung yang ada peobiasanya ada juga ja heda (patung kuda dari kayu berekor naga dengan penunggang), bo heda (lumbung penyimpan tanduk kerbau) dan ia (patung perempuan cantik dari kayu)

Selain struktur masyarakat seperti tersebut di atas, masyakat Nagekeo juga mengenal stratafikasi masyarakat. Stratafikasi masyarakat Nagekeo terdiri dari“ata mosalaki” (bangsawan) dan “ata ho’o heo/ana kapo”. Berkaitan dengan ho’o saat ini sudah tidak terkenal lagi. Istilah ho’osudah berubah menjadi “ana azi”(anak/adik), atau “ana azi ili woe” (anak anggota kelompok). Perubahan istilah ini juga bersamaan dengan perubahan tindak tanduk, perilaku serta perlakuan yang lebaih manusiawi terhadap mereka secara timbal balik di mana dari mereka juga dituntut sikap tahu diri dan tahu menempatkan diri.

Mosalaki selain berarti bangsawan juga mengacu kepada pera mereka dalam masyarakat. Orang yang bertugas menyelesaikan masalah antar warga (tau babho ngasi) juga disebutmosalaki. Orang yang menjadi jubir dalam adat perkawinan (bheto lewa tali nao) juga disebutmosalaki. Juga yang memfasilitasi pembicaraan adat kematian  (babho ngasi) disebut mosalaki. Lebih lanjut, mengacu kepada kepemilikan harta benda, peranan dalam masyarakat dan kemampuan-kemampuan khususnya para mosalaki mendapat berbagai julukan seperti:mosa ulu laki eko/mosa bo’a laki ‘ola” (pemuka dalam kampung), mosa meze laki lewa (mosalaki yang memperoleh penghargaan yang tinggi),mosa wiwi laki lema (mosalaki yang pandai berbicara), mosa tana laki watu (mosalaki pemilik tanah yang juga disebut ‘ine tana ‘ame watu), mosa bhada laki wea (mosalaki yang memiliki harta benda), mosa ngai laki zede (mosa laki yang bijaksana). Dalam mengurus persoalan dalam masyarakat, mosalaki diingatkan untuk menjadi mosa kisa ma’e mosa wisa. Namun, mosalaki harus selalu menjaga pola peri lakunya karena mosalaki yang bertingkah laku tidak patut, yang menyimpang dari norma dan tata nilai adat yang ada dalam masyarakat dapat dijuluki mosa o’a laki wawi. Bila mosalaki melakukan hal-hal yang tidak terpuji dalam masyarakat disebutmosa mona laki bha’i.


*Buku Gua Ne’e Wula Dala Imu


Buku gua saya terjemahkan sebagai peristiwa budaya/adat yang mencakup sekurang-kurangnya tiga aspek yaitu aspek ritual adat (pebe welu/bheka tena/fedhi legi), aspek upacara adat (dhuju nama) dan aspek pesta adat.

Karena buku gua merupakan peristiwa budaya maka sebelum membahas lebih lanjut saya paparkan sedikit pengertian budaya menurut para ahli. Prof. Koentjaraningrat mengatakan bahwa budaya atau kebudayaaan berasal dari bahasa Sansekerta: budhayah, yaitu bentuk jamak dari “bhudi” atau budi atau akal. Dari asal kata ini, budaya dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan budi atau akal dan segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal dan budi tersebut.

Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi mengartikan budaya sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Dengan demikian, budaya atau kebudayaan memiliki makna yang sangat luas dan seolah tidak ada batasnya. Ia mencakup berbagai dimensi kehidupan yang lahir sebagai hasil olah akal dan budi, mulai yang terkecil hingga yang terbesar; mulai dari tata cara makan hingga tata cara mengelola sebuah “Negara”

Penjelasan lain mengatakan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistim agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Dari berbagai pengertian di atas, setiap kelompok masyarakat memiliki budayanya sendiri. Orang Nagekeo, memiliki budaya sendiri yang berbeda dari budaya orang Ende/Lio, orang Ngada, orang Manggarai, orang Jawa, orang Barat dan lain-lain. Budaya masing-masing kelompok ini, sesuai dengan wilayahnya disebut juga budaya daerah. Dan sejak kita sepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, kita memiliki kebudayaan Nasional yang menurut Ki Hajar Dewantara adalah puncak-puncak kebudayaan Daerah.

 Berkaitan dengan pengertian buku gua dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa aspek ritual adat, berhubungan dengan penghormatan terhadap Tuhan dan leluhur. Ada persembahan, ada doa adat dalam suasana religi, suasana sakral sampai kepada suasana mistik magis. Dalam ritual adat ada aturan, norma dan nilai tentang siapa yang melakukannya, apa yang harus dilakukan dan doa yang harus diucapkan. Tidak semua orang bisa melakukannya. Dalam setiap ili woe (suku) sudah ada aturannya masing-masing. Yang pasti adalah bahwa  orang yang dipercayakan melakukan ritual adat adalah orang dalam suku itu sendiri yang terseleksi secara alamiah dan telah melalui berbagai proses adat.

Aspek upacara adat berkaitan dengan susunan acara, pelaksanaan upacara adat dan pengaturan siapa-siapa yang terlibat di dalamnya baik sebagai peserta inti atau orang yang dilibatkan secara khusus. Sedangkan pesta adat menyangkut dengan kehadiran orang luar, ada tarian dan nyanyian baik yang dipentaskan maupun yang melibatkan orang banyak. Ada unsur biaya/anggaran, ada unsur hiburan dan ada unsur tontonan dan juga ada unsur penonton. Aspek ritual adat, aspek upacara adat dan aspek pesta adat dilakukan secara bersamaan.

Buku gua tidak dilaksanakan setiap saat atau setiap waktu. Makanya ada ungkapan adat orang Nagekeo yang mengatakan “buku gua ne’e wula dala imu. Ungkapan ini mau mengatakan peristiwa adat tidak dibuat setiap saat dan sesuka hati tetapi ada waktunya sesuai dengan kalender adat yang sudah disepakati sejak dahulu kala. Kalender adat orang Nagekeo dihitung berdasarkan peredaran bulan sehingga ada tiga kelompok besar waktu berdasarkan peredaran bulan yaitu wula kesu (bulan baru muncul/bulan sabit), wula gili (bulan purnama) dan wula epa (bulan gelap). Selain itu juga ada perhitungan waktu berdasarkan aktifitas hidup manusia sepertiwula kota woka (waktunya bekerja), wula poke joki (musim tanam), wula keti  pui(waktu panen), wula seka ngoa(membersihkan kebun sesudah panen),wula moni neni (musim tontonan), wula teka kewo (mendirikan rumah), Wula to’a lako (berburu) dan kembali ke kota woka.

Peristiwa budaya ini bisa menyangkut kehidupan manusia, kegiatan bercocok tanam dan kegiatan masyarakat berdasarkan kalender adat yang berlaku turun temurun. Yang berkaitan dengan kehidupan manusia sejak dilahirkan (kao mau), hoga ‘ulu (cukur rambut), gedho logo/koa ngii (sunat/potong gigi), pasa fai laki weki (perkawinan), tau ngii ‘ae(upacara pematangan kedewasaan seseorang) sampai meninggal dunia (boka mata le e’e). Yang berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam dimulai dari kota aca/woka ngema (persiapan lahan), poke joki (tanam), sewo (penyiangan), ze noa(pengendalian hama), poo sugi dan poo uta(syukur akan hasil yang mulai nampak),poo wete (syukur panen), keti pui (panen).

Ada peristiwa budaya yang dibuat tidak rutin tetapi dilakukan secara tahunan seperti etu/mbela (tinju adat) dan deo tua. Ada yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama seperti pogo peo (mendirikan tiang lambang pemersatu di tengah kampung), pa bhe (upacara potong kerbau),tau sa’o waja (buat rumah adat), tau bo heda (buat rumah penyimpanan tanduk kerbau milik beberapa suku).

Dalam melaksanakan buku gua ada nilai-nilai luhur yang harus dipahami dan dipelajari. Ada nilai saling menghormati(papa ‘uku ‘ada), saling menghargai (papa kia zi’a tabe pawe), saling membantu (kua kesa boza penu), mengingatkan pertalian kekeluargaan di mana ada keluarga pihak ibu (ine ame ebu tau, pu’u kamu logo lighu, pu’u meze kamu lema), ada keluarga saudari perempuan (ine weta ana ane, ana tu zeu nawu lewa, tua eja wae laki), ada kakak adik dalam kelompok (ka’e azi ili woe) dan ada para tetangga dan handai taulan (ulu eko padhi bi, kani padhi wesa meta). Bahkan ada orang luar yang harus dihargai dan dilayani yang disebut ana moni (penonton), orang yang datang karena tau ada buku gua (ata ta go pai laba enga).

Berkaitan dengan buku gua yang menyangkut seluruh aspek kehidupan kita dan menggambarkan nilai-nilai luhur budaya kita saya dapat gambarkan dalam contoh kecil berikut ini. Para ahli mengatakan bahwa budaya mencakup dimensi kehidupan yang sangat luas mulai dari cara yang sederhana seperti cara makan. Orang Nagekeo memiliki tata cara makan yang akrab dan penuh kekeluargaan sehingga muncullah istilah “ka pebha paa, inu seba siku, ka papa fa inu papa pida”.Pada saat makan ada waktu penanaman nilai/pendidikan dengan adanya “ka pese inu tenu”. Coba bapa/ibu renungkan kata-kata “kao gajo pati pegha”. Ada nuansa kebersamaan, ada nuansa ada yang mengatur dan berbagi peran (ne’e ta moi pati pegha), ada nuansa keadilan. Bandingkan dengan cara makan kita sekarang di meja makan, dengan cara mengambil masing-masing. Bisa ada ingat diri, ada nuansa sendiri-sendiri.

* Kepemilikan Tanah


Budaya kita mengatur dengan baik tentang kepemilikan tanah dan tata  cara pemanfaatannya termasuk hak dan kewajiban pemilik tanah dan orang yang memanfaatkannya. Kita mengenal tanah ulayat yang terdiri dari tana kapi sao, tana taa koko nee dolo to, tana ta lani nee tadu asu (berkaitan dengan rumah adat dan upacara adat). Ada juga tanah ulayat yang merupakan hasil perjuangan bersama yang dikenal dengan istilah tana taa bani papa kapi, tego papa leu, tana wuli gega lado ngai, tana taa kuku bua bela bia, tana ao doe ana gola (tanah menang perang). Kita mengakui tanah milik perorangan yang berasal dari tana tii toki pea pati (tanah pemberian), tana tuko watu beta (tanah jual beli), tana bhada bhaa wea mene(tanah ganti belis), tana dhoko bola (tanah pengiring anak perempuan), tana tuka foko (tanah untuk hidup), tana kodo doi(tanah ganti pakaian), tana poko toko lulu dhula (tanah imbalan mengurus kematian), tana gase/beko aba uzu nee puu tolo(tanah sita karena ada sebab).

Tata cara pemanfaatan tanah pun sudah diatur seperti untuk kehidupan keluarga (tau gae ola muzi, polu fai pagha ana), boleh untuk tanaman tahunan(umur pendek), bisa untuk tanaman umur panjang (taga toni mula bhuga). Dalam pemanfaatan tanah kita mengenal istilahpogo mona tana, pate mona ngale ( memotong dan menebang kayu tidak perlu minta izin). Untuk para penggarap kita kenal istilah sozo woza kabho wawo(hanya dimafaatkan untuk berkebun), fedho woli (sewa tanah), ki boka oti deto(sewa tanah tahun pertama).


Kepemimpinan


Budaya kita memiliki konsep kepemimpinan melalui ungkapan “ ajo lau mau poto molo mangu”. Ungkapan singkat ini mengandung makna yang sangat luas. Ada aspek keteladanan, ada aspek orang yang memiliki kemampuan khusus, ada aspek kerja sama antara pemimpin dan orang yang dipimpin, ada aspek mengenal medan tugas. Ini bisa kita perhatikan dari konstruksi “ajo” (perahu). Tiang kemudi(mangu) berasal dari kayu pilihan (kaju taa atu-atu jeka ta kamu, waja-waja jeka taa ta), perahunya sendiri juga harus dengan konstruksi yang kuat dari kayu pilihan pula, harus dibuat dengan keseimbangan yang sempurna untuk mempu berlayar di laut lepas yang kadang tenang tetapi kadang juga dihadang ombak dan gelombang tetapi perahu itu harus sampai di pelabuhan. Ini juga menggambarkan tanggung jawab seorang pemimpin. (Bandingkan dengan konsep Ki Hajar Dewantara: Ing ngerso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani)

Budaya kita memiliki konsep “ulu eko”yang selalu dikaitkan dengan ungkapan“ulu pulu eko pongo, ulu meze eko lewa”dan juga ada konsep “ena one ulu eko ngusa nee taa wuku ulu enga eko”. ”Ulu eko” terdiri dari “sao meze teda lewa”, yang meluas ke ”padhi bi ulu eko” dan“kani padhi wesa meta” yang menggambarkan persatuan dan kesatuan serta keakraban dan persaudaraan dalam kampung. “Sao” selain untuk tempat tinggal tetapi ada “sao” yang dibangun khusus dengan sebutan “sao waja” tempat menyimpan benda-benda pusaka dan benda-benda adat yang melambangkan persatuan keluarga dan berkaitan dengan kepemilikan tanah (tana taa koko nee dolo to, lani nee tadu asu). Beberapa “Sao waja” yang terpencar di beberapa kampung membentuk “woe/hoga” (suku) dan kemudian beberapa “woe” membentuk kelompok “peo oko nabe fa” dengan pembagian fungsi dan peran sebagai ”saka puu, saka lobo, gase sobo lado, (ada iwu, lado bepi), saa tugu-tugu” dan ini tergambar dari urut-urutan pemotongan kerbau pada waktu “pa bhe”. Kita juga mengenal istilah “tolo ata nee sao teda, tolo ata nee ili woe, tolo ada nee bhisu manga imu” yang sebenarnya menggambarkan keteraturan kehidupan masyarakat kita. (lihat penjelasan tentang struktur masyarakat adat Nagekeo dan dikaitkan dengan kepemimpinan)

Selain kepemimpin secara umum seperti dijelaskan di atas, dalam suku/woe/hoga juga ada pemimpin. Pemimpin suku ini, sekarang orang sering salah kaprah dengan menyebutnya Ketua Suku. Padahal sebutan ketua berari harus ada pemilihan. Ada yang menyebutnya Kepala Suku. Ini juga salah kaprah karena sebutan Kepala berarti ada orang lebih atas yang mengangkatnya. Istilah yang cocok untuk pemimpin suku kita adalah “primus inter pares” (yang utama dari orang-orang yang sama). Kepemimpinan berlangsungsecara alamiah. Dalam suku selalu ada orang yang memiliki kemampuan berbicara(ne’e sezu wiwi), ada orang yang memiliki kemampuan ekonomi (ne’e keli ngala), ada garis keturunan yang jelas (dhi nuzu) yang secara alamiah akan tampil sebagai pemimpin dan secara alamiah pula diakui kepemimpinannya. Dialah yang menjadi“mangu” dalam suku/woe/hoga


Dari uraian-uraian di atas, saya mencoba membuat semacam kristalisasi tentang budaya Nagekeo sebagai berikut:

1.   Mengutamakan persaudaraan: kita ‘ine sa susu mite, kita ‘ame sa lalu to, zeta tolo pedhe nika tuga sapodo, zale teda ‘inu tua tuga sa he’a (Kita ibarat saudara seayah dan seibu, makan nasi dari periuk yang sama dan minum moke dari cawan yang sama)

2.   Mengedepankan persahabatan: modhe ne’e kapo woe, meku ne’e doa delu(Baik dengan sahabat dan lembut dengan saudara)

3.    Mengutamakan musyawarah untuk mufakat: ngaza ne’e gusu gasa gole gena, enga wai mosa, pala wai laki. mai mosa ‘ulu, mai laki ‘eko, mai tiwo iko ena ngusu pu’u peo. babho walo pata mo’o tau tiba tana (Bila ada silang sengketa, undanglah mosa laki. Mari berkumpul di pelataran adat. Mari berunding agar masalah dapat diselesaikan)

4.   Menghargai kesepakatan: (1) ngaza sezu ne zebu zili, pata ne peka mena, sua ne ma’e tei, waga ne ma’e aka (Kalau sudah ada kesepakatan jangan diingkari lagi) (2) tua/tura jaji (Ikrar perdamaian yang dihormati turun temurun) (3) ti’i negha mona wiki pati negha mona lai(Apa yang sudah diberikan jangan diambil kembali) (4) bhodo wai toko holo, lange wai toko pae (Kesepakatan batas tanah yang saling mengakui sebagai saudara) (5) pogo mona tana pate mona ngale (Kesepakatan dalam hal memanfaatkan hasil kebun/hutan secara kekeluargaan)

5.   Mengedepankan kerja sama,saling membantu dan gotong royong: bani papa kapi, tego papa leu, to’o jogho waga sama, kua papa kesa boza papa penu (Saling membantu, saling mendukung dan bergandengan tangan)

6.   Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan: ulu eko padhi bi, ulu pulu eko pongo, kani padhi wesa meta (Sekampung halaman dan bertetangga secara baik)

7.   Saling menghormati dan menghargai:papa ‘uku, papa kia zi’a ne’e tabe pawe

8.   penuh keakraban satu sama lain: uta sa kula, tua sa he’a. ka papa fa, inu papa pida. ka pebha pa’a inu seba siku(Sayur sepiring dan moke secawan; makan dan minum bersama; makan sambil bersandar paha dan bedekatan siku)

* Pentingnya Pelestarian Budaya


Setelah saya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya kita tersebut di atas, kita sendirilah yang menentukan penting dan tidaknya pelestarian budaya. Apakah kita tidak merasa penting melestarikan budaya kita yang sangat mengandung nilai-nilai luhur seperti yang sudah disebutkan diatas? Budaya kita yang sudah begitu banyak mearik minat para peneliti dari luar negeri datang dan melakukan penelitian disini. Budaya kita yang mampu membuat Mgr. A. Verstraelen, Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (1922- 1932) menagatakan bahwa orang Flores, termasuk orang Nagekeo mempunyai jiwa Kristiani dan mempunyai moral sesuai dengan ajaran Tuhan. Tentunya karena mereka adalah orang berbudaya.

Budaya Nagekeo tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila dan UU NKRI lainnya. Budaya. Karena kita adalah orang beragama lestarikan budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Budaya Nagekeo harus diwariskan dengan baik dan benar kepada generasi berikutnya secara turun temurun. Jika tidak ada pelestarian maka budaya kita akan punah dan tidak tertutup kemungkinan anak cucu kita akan belajar budaya Nagekeo dari para peneliti di luar negeri.

Setelah menyadari pentingnya pelestarian budaya maka kita harus sepakati pula bagaimana cara melestarikannya. Saya menyarankan ada dua cara yaitu:

1.    Laksanakan dan selenggarakan budaya sambil melakukan revitalisasi sehingga anak-anak muda bisa menyaksikan kembali semua “buku gua” yang baik dan bernilai positif. Sambil menyelenggarakan kembali berbagai upacara dan ritual adat, sertakan dengan penjelasan tentang makna setiap tahapan upacara dan nilai-nilai luhur apa yang terkandung di dalamnya.

2.   Melakukan dokumentasi baik melalui media cetak maupun media audiovisual karena kita sudah mengalami dalam sekurang-kurangnya dua dekade, karena pewarisannya mengandalkan budaya tutur atau budaya lisan  ada yang hilang dan terlupakan. Dan setelah merasakan dan mengalami bagaimana budaya kita perlahan- lahan dilupakan dan ditnggalkan oleh generasi muda kita maka lembaga yang palin kompeten harus terlibat dalam pelestarian budaya adalah Pemerintah yang bisa mengayomi semua pelaku budaya.


Saran Penutup

Selama Nagekeo terbentuk kita telah berulangkali melakukan dialog budaya. Menjelang terbentuknya Nagekeo kita berdialog dalam seminar-loka karya dengan tema:  Dalam Kebersamaan Membangun Kekitaan untuk Membangun Masa Depan Nagekeo. Seminar dan loka karya  ini menghasilkan Buku Rancang Bangun Nagekeo (Editor: P. Dr. Philipus Tule, SVD dan Drs. Theofilus Woghe)  yang seharusnya menjadi Buku Pintar masyarakat Nagekeo terutama Bupati Nagekeo, Wakil Bupati Nagekeo, DPRD Nagekeo dan semua Pimpinan SKPD Kabupaten Nagekeo. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabubaten Nagekeo dan Renecana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Nagekeo tidak boleh bertentangan dan keluar dari Buku Rancang Bangun Nagekeo. Apalagi dalam mukadimah yang merupakan amanat rakyat Nagekeo ada tertulis dalam pesan moralnya bahwa pembangunan Kabupaten Nagekeo berbasis budaya lokal.

Setelah Nagekeo terbentuk, kita juga berkali-kali melakukan dialog dalam perayaan ulang Tahun Nagekeo yang kita sepakati dirayakan setiap tanggal 8 Desember. Pada 8 Desember 2010 kita lakukan sarasehan atau napak tilas. Kemudian pada tanggal 7 Desember 2012 kita lakukan lagi dialog budaya dengan nara sumber orang Nagekeo sendiri P. Dr. Philipus Tule, SVD dan Fr.M. Dr. Monfort BHK. Dari dialog tersebut kita hasilkan kesepakatan-kesepakatan berikut: (1) Revitalisasi nilai-nilai budaya, ritual adat dan symbol-simbol budaya Nagekeo (2) Penelitian dan rekomendasi serta publikasi dibentuk sejak dini dengan melibatkan pakar-pakar dari luar dan local dengan obyek pembahasan hak tanah ulayat, suku dan budaya (3) Dukungan moril dan financial dari Pemda untuk masyarakat adat dalam penyelenggaraan ritual dan renovasi budaya (4) Penyelesaian konflik-konflik tanah didahului dengan pendekatan adat dan budaya oleh LPA atau lembaga sejenis yang berkompeten (5) Membangun museum kebudayaan Nagekeo sebagai Sience Center untuk semua cluster budaya di Nagekeo.

Tanggal 2-3 Oktober 2014, terjadi lagi dialog budaya di Nagekeo. Kali ini diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi dan dipadukan dengan silaturahim ahli waris raja-raja se-Flores dan Lembata. Dialog Budaya ini menghasilkan lagi 7 (tujuh) rekomnendasi. Beberapa rekomendasi merupkana duplikasi rekomendasi dialog kebudayaan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Nagekeo. Apakah tidak akan tumpang tindih dalam pelaksanaannya nanti?

    Tetapi secara jujur mau saya katakan, kita masih mengikuti pola nenek moyang kita yang buta huruf dan terbiasa dengan budaya tutur. Padahal orang Latin mengatakan dengan jelas: verba volant, scripta manent (kata-kata menguap kemana-mana, sedangkan tulisan akan abadi). Untuk itu, saran konkrit saya adalah:

1.    Bukukan hasil dialog ini sebagai pengantar awal dan tanda bahwa kita akan menulis tentang budaya Nagekeo di setiap Kecamatan sesuai dengan kluster-kluster budaya yang telah ditetapkan. Kita dokumentasikan materi yang ada, kita catat semua hasil dialog pada hari ini dan jadikan sebuah buku. Editornya tidak perlu cari jauh-jauh karena P. Dr. Philipus Tule, SVD, anak Nagekeo selalu berada bersama kita

2.    Mulai tahun 2016 siapkan anggaran untuk penulisan buku tentang Budaya Nagekeo.


Dan perkenankanlah saya akhiri pemaparan saya ini dengan ajakan:

MAKU KITA HOGA NAGEKEO

ULU SOKE SUNGA EKO ORA BATA

LOGO KITA BEI KELI, TAGA KITA DERI MESI

KITA TA INE SA SUSU MITE, AME SA LALU TO

ZETA TOLO KITA PEDHE NIKA TUGA SA PODO

ZALE TEDA KITA INU TUA TUGA SA HEA


KITA NGUSA KOLO SA TOKO, TALI SA TEBU

BANI KITA PAPA KAPI, TEGO KITA PAPA LEU

TOO PEKA TOO, DAWI PEKA DAWI

DUA KITA DULU-DULU, NUKA KITA DHORE-DHORE

KUA KITA PAPA KESA, BOZA KITA PAPA PENU



MAI SAI KITA

POTU MOTU WEO JE

PEPE WEO KABUPATEN NAGEKEO

IMU MOO LILA DHU SIA

IMU MOO FANGA DHU DA

JEKA TANA ZEA, JEKA WATU WONGA


ZETA ULU KITA TUKU NUU BHIA NUNU TAA KAKA WUTU

ATA ZUDHU MONA ZUGHU

LAU EKO KITA TUE NEMO BHIA FEO TAA ADA EO

ATA KEKO MONA NEDHO


Danga, 8 Desember 2015