AKU 1
Dhamma Y.M. Bhante Sri Pannavaro Mahathera.
Jangan sekali-kali meremehkan AKU ini! Ada orang yang mengatakan, "Ah Bhante, 'aku' itu kan bukan suatu kejahatan toh? Palingan kalau 'aku'-nya besar itu ya dibilang, 'Wong kok sombong banget, arogan', paling kan hanya dikatakan begitu saja toh, Bhante?"
Saat ada acara pasti minta duduknya di depan, jika suatu ketika penerima tamu tidak mengerti, lalu dia di dudukan dibelakang sana, maka dia akan marah-marah. "Aku kok di suruh duduk di belakang? Kok tidak kenal sama aku ya? Aku ini punya jasa kok tidak dihargai, Ini orang tidak tahu siapa aku ini!"
Saya pernah diberitahu seorang bhikkhu, "Oh....kalau begitu dia bukan pemimpin, Bhante. Tapi orang seperti itu namanya pemuka, bukan pemimpin."
"Kok bisa?"
"Lha dia kan inginnya duduk di muka, kelihatan muka."
"Oh beda toh ya?"
"Beda, Bhante. Pemuka dan pemimpin itu berbeda."
"Oh iya. Pemimpin juga kalau kehilangan faktor 'n' juga berbahaya lho," saya bilang.
"Lho kok begitu bisa begitu Bhante?"
"Lha kalau 'pemimpin", 'n' nya dihilangkan jadi 'pemimpi'.
Omongnya gede-gede, tetapi tidak pernah melaksanakan hal yang diucapkan.
"Bhante, kalau 'aku' itu kan paling orang hanya mengatakan, "Wah! Dia itu sombong banget. 'AKU'-nya gede-gede, tidak menyakiti orang."
Kadang-kadang orang yang 'aku'-nya besar itu enjoy saja. Enak saja dia. Keakuannya melembung itu merasa enak-enak saja. Dia tidak merasa. Orang lain yang melihat, yang bergaul dengan dia merasa risi sendiri. Orang ini yang dilakukannya tidak seberapa, tetapi sombongnya selangit! Orang lain akan risi, tapi dirinya sendiri enjoy saja. Dia mengumbar keakuan-nya itu.
"Tapikan paling begitu saja toh, Bhante? Tidak berbahaya toh"?
"Oh, jangan meremehkan keakuan, Saudara."
Keakuan punya anak. Anaknya adalah ketika 'aku' senang, maka 'aku' ingin senang lagi, 'aku' ingin senang terus, 'aku' ingin senang yang lebih banyak lagi. Keserakahan.
Anaknya keakuan adalah keserakahan.
Saat dia untung, dia ingin untung terus. Aku enggak mau rugi, tidak ada pedagang yang mau rugi. Aku ingin sukses terus. Aku ingin sehat terus. Kalau sudah tua, aku ingin tua terus.
"Lho kok bisa, Bhante?"
"Ya, siapa yang ingin mati? Kalau sudah terlanjur tua kan lebih baik ingin tua terus, karena enggak mau mati-mati."
Inilah keserakahan. Kalau ingin senang terus, sukses terus, untung terus, lalu terhalang, mentok, banyak masalah, tidak bisa diatasi, nah...., keserakahannya itu berubah bentuk, bermetamorfosis.
Dulu, ingin senang terus, ingin maju terus, usaha ingin jalan terus, ingin hidup terus, lalu sekarang renananya, programnya mentok, kena masalah.
"Bhante...., saya sudah bosan hidup, saya lebih baik mati saja. Buat apa hidup kalau begini?"
Lha kok lain dulu lain sekarang? Seminggu yang lalu masih berapi-api, masih ingin ini, ingin itu, ingin maju, ingin begini. Sekarang, lho kok nglokro, bagaimana ini?
"Sudahlah Bhante. Sudah cukup hidup saya. Sudah tidak ada yang menyenangkan lagi, dunia serasa kiamat. Andai saja nanti malam saya berangkat ya saya terimo".
Lho kenapa ini? Karena kesenangannya terhalang. Karena kebahagiaannya terhalang. Karena keinginannya terhalang, lalu timbullah kebencian kepada dirinya sendiri, juga kebencian kepada orang lain.
Siapa pun yang menghalang-halangi, singkirkan saja! Bila perlu dilenyapkan dari muka bumi ini. Bunuh! Itulah kebencian.
Kebencian muncul saat keserakahan tidak mendapatkan pemenuhan, terhalangi. Sebaliknya jika kesenangannya mendapatkan pemenuhan, wow...., keserakahannya membara, ingin dan ingin terus tanpa ada batasannya.
Berhati-hatilah dengan sang 'aku' ini sangat berbahaya. Sebab penderitaan itulah muncul dari Sang 'aku'.
Jangan sekali-kali meremehkan AKU ini! Ada orang yang mengatakan, "Ah Bhante, 'aku' itu kan bukan suatu kejahatan toh? Palingan kalau 'aku'-nya besar itu ya dibilang, 'Wong kok sombong banget, arogan', paling kan hanya dikatakan begitu saja toh, Bhante?"
Saat ada acara pasti minta duduknya di depan, jika suatu ketika penerima tamu tidak mengerti, lalu dia di dudukan dibelakang sana, maka dia akan marah-marah. "Aku kok di suruh duduk di belakang? Kok tidak kenal sama aku ya? Aku ini punya jasa kok tidak dihargai, Ini orang tidak tahu siapa aku ini!"
Saya pernah diberitahu seorang bhikkhu, "Oh....kalau begitu dia bukan pemimpin, Bhante. Tapi orang seperti itu namanya pemuka, bukan pemimpin."
"Kok bisa?"
"Lha dia kan inginnya duduk di muka, kelihatan muka."
"Oh beda toh ya?"
"Beda, Bhante. Pemuka dan pemimpin itu berbeda."
"Oh iya. Pemimpin juga kalau kehilangan faktor 'n' juga berbahaya lho," saya bilang.
"Lho kok begitu bisa begitu Bhante?"
"Lha kalau 'pemimpin", 'n' nya dihilangkan jadi 'pemimpi'.
Omongnya gede-gede, tetapi tidak pernah melaksanakan hal yang diucapkan.
"Bhante, kalau 'aku' itu kan paling orang hanya mengatakan, "Wah! Dia itu sombong banget. 'AKU'-nya gede-gede, tidak menyakiti orang."
Kadang-kadang orang yang 'aku'-nya besar itu enjoy saja. Enak saja dia. Keakuannya melembung itu merasa enak-enak saja. Dia tidak merasa. Orang lain yang melihat, yang bergaul dengan dia merasa risi sendiri. Orang ini yang dilakukannya tidak seberapa, tetapi sombongnya selangit! Orang lain akan risi, tapi dirinya sendiri enjoy saja. Dia mengumbar keakuan-nya itu.
"Tapikan paling begitu saja toh, Bhante? Tidak berbahaya toh"?
"Oh, jangan meremehkan keakuan, Saudara."
Keakuan punya anak. Anaknya adalah ketika 'aku' senang, maka 'aku' ingin senang lagi, 'aku' ingin senang terus, 'aku' ingin senang yang lebih banyak lagi. Keserakahan.
Anaknya keakuan adalah keserakahan.
Saat dia untung, dia ingin untung terus. Aku enggak mau rugi, tidak ada pedagang yang mau rugi. Aku ingin sukses terus. Aku ingin sehat terus. Kalau sudah tua, aku ingin tua terus.
"Lho kok bisa, Bhante?"
"Ya, siapa yang ingin mati? Kalau sudah terlanjur tua kan lebih baik ingin tua terus, karena enggak mau mati-mati."
Inilah keserakahan. Kalau ingin senang terus, sukses terus, untung terus, lalu terhalang, mentok, banyak masalah, tidak bisa diatasi, nah...., keserakahannya itu berubah bentuk, bermetamorfosis.
Dulu, ingin senang terus, ingin maju terus, usaha ingin jalan terus, ingin hidup terus, lalu sekarang renananya, programnya mentok, kena masalah.
"Bhante...., saya sudah bosan hidup, saya lebih baik mati saja. Buat apa hidup kalau begini?"
Lha kok lain dulu lain sekarang? Seminggu yang lalu masih berapi-api, masih ingin ini, ingin itu, ingin maju, ingin begini. Sekarang, lho kok nglokro, bagaimana ini?
"Sudahlah Bhante. Sudah cukup hidup saya. Sudah tidak ada yang menyenangkan lagi, dunia serasa kiamat. Andai saja nanti malam saya berangkat ya saya terimo".
Lho kenapa ini? Karena kesenangannya terhalang. Karena kebahagiaannya terhalang. Karena keinginannya terhalang, lalu timbullah kebencian kepada dirinya sendiri, juga kebencian kepada orang lain.
Siapa pun yang menghalang-halangi, singkirkan saja! Bila perlu dilenyapkan dari muka bumi ini. Bunuh! Itulah kebencian.
Kebencian muncul saat keserakahan tidak mendapatkan pemenuhan, terhalangi. Sebaliknya jika kesenangannya mendapatkan pemenuhan, wow...., keserakahannya membara, ingin dan ingin terus tanpa ada batasannya.
Berhati-hatilah dengan sang 'aku' ini sangat berbahaya. Sebab penderitaan itulah muncul dari Sang 'aku'.