TANHA
Dhamma Y.M. Bhante Sri Pannavaro Mahathera.
Tanha yang juga disebut sebagai "nafsu keinginan", yaitu selera yang tidak cocok dengan sifat kehidupan yang selalu berubah, yang kemudian menimbulkan dukkha. Akan tetapi, bila sanggup menerima sifat yang wajar dari kehidupan ini,tentu semua kekecewaan dan dukkha akan berubah menjadi keseimbangan. Namun pada prakteknya, hal ini sangat sulit dilakukan karena kemelekatan kita masih kuat.
Dari pertemuan yang berulang-ulang dengan nafsu keinginan, kenikmatan yang dicicipi atau dirasakan tersebut berakibat makin menguatnya kemelekatan, baik kemelekatan terhadap orang tua, pada teman yang dekat, pada keadaan yang nyaman yang enak. Bila sampai perubahan terjadi, kita akan sulit menerimanya. Seolah-olah semua pengetahuan dan pengertian yang Anda dapatkan dari khotbah-khotbah yang sering Anda dengar, menjadi tidak berguna sama sekali.Jadi sesungguhnya, kebodohan kita atau lenyap-nya pengetahuan kita, yaitu tidak bisa menyadari ketidak-kekalan dari segala sesuatu; karena kita tertutup oleh kemelekatan akan tanha; inilah sesuatu yang amat berbahaya. Yaitu: tanha dan upadana (kemelekatan yang timbul dari nafsu keinginan)!
Manusia bisa mempunyai ambisi yang sangat jahat, kecewa yang hebat, dan melakukan apapun demi memuaskan seleranya, karena tanha dan upadana. Bahkan ini lebih hebat dari ‘guna-guna’ atau-pun ‘santet’, karena ‘guna-guna’ pun hanya berlangsung dalam satu kehidupan saja, namun tidak demikian halnya dengan tanha,upadana, dan avijja. Nafsu keinginan yang dibiarkan itu akan menimbulkan kemelekatan, dan kemelekatan itu akan membuat menjadi gelap. Pengertian, ceramah, khotbah, pengetahuan dari membaca buku lenyap semua, dan ia hanya akan mengikuti keinginan yang memenuhi pikirannya itu.
Bagaimana cara-nya untuk melenyapkan tanha, upadana, dan avijja agar pikiran kita selalu terang? Dan bagaimana membuat pengertian-pengertian di atas tidak hanya sekilas, tetapi terangnya berkelanjutan. Untuk melenyapkan tanha, upadana, dan avijja diperlukan kebijaksanaan. Walaupun ada keinginan atau cita-cita yang muncul, keinginan itu harus disertai dengan kebijaksanaan bahwa segala sesuatu tidak ada yang kekal. Maka, keinginan ini tidak akan menjadi kemelekatan. Bila kemelekatan tidak muncul,maka teranglah di dalam pikiran.
Pada saat berbicara, bertindak, cobalah untuk selektif. Jangan asal berbicara atau berbuat dengan ‘sembrono’. Berbicara dan berbuat dengan selektif adalah cara membendung tanha, upadana dan munculnya sila. Selain itu, kita juga harus menghancurkan tanha dengan meditasi, sehingga muncul pañña.
Pikiran menjadi sangat terang dan tidak akan goyah melihat perubahan—yang sekarang terlihat sebagai kewajaran. Kita akan mengubah segala kekecewaan, ketidakpuasan, penderitaan, dukkha menjadi keseimbangan, apabila kita mampu melihat semuanya sebagai proses kewajaran.
Inilah yang disampaikan Sang Buddha 25 abad lalu, ketika orang-orang pada masa itu masih percaya terhadap dewa, mengharap berkah pada dewa, dan kepercayaan tidak masuk akal lainnya.
Tanha yang juga disebut sebagai "nafsu keinginan", yaitu selera yang tidak cocok dengan sifat kehidupan yang selalu berubah, yang kemudian menimbulkan dukkha. Akan tetapi, bila sanggup menerima sifat yang wajar dari kehidupan ini,tentu semua kekecewaan dan dukkha akan berubah menjadi keseimbangan. Namun pada prakteknya, hal ini sangat sulit dilakukan karena kemelekatan kita masih kuat.
Dari pertemuan yang berulang-ulang dengan nafsu keinginan, kenikmatan yang dicicipi atau dirasakan tersebut berakibat makin menguatnya kemelekatan, baik kemelekatan terhadap orang tua, pada teman yang dekat, pada keadaan yang nyaman yang enak. Bila sampai perubahan terjadi, kita akan sulit menerimanya. Seolah-olah semua pengetahuan dan pengertian yang Anda dapatkan dari khotbah-khotbah yang sering Anda dengar, menjadi tidak berguna sama sekali.Jadi sesungguhnya, kebodohan kita atau lenyap-nya pengetahuan kita, yaitu tidak bisa menyadari ketidak-kekalan dari segala sesuatu; karena kita tertutup oleh kemelekatan akan tanha; inilah sesuatu yang amat berbahaya. Yaitu: tanha dan upadana (kemelekatan yang timbul dari nafsu keinginan)!
Manusia bisa mempunyai ambisi yang sangat jahat, kecewa yang hebat, dan melakukan apapun demi memuaskan seleranya, karena tanha dan upadana. Bahkan ini lebih hebat dari ‘guna-guna’ atau-pun ‘santet’, karena ‘guna-guna’ pun hanya berlangsung dalam satu kehidupan saja, namun tidak demikian halnya dengan tanha,upadana, dan avijja. Nafsu keinginan yang dibiarkan itu akan menimbulkan kemelekatan, dan kemelekatan itu akan membuat menjadi gelap. Pengertian, ceramah, khotbah, pengetahuan dari membaca buku lenyap semua, dan ia hanya akan mengikuti keinginan yang memenuhi pikirannya itu.
Bagaimana cara-nya untuk melenyapkan tanha, upadana, dan avijja agar pikiran kita selalu terang? Dan bagaimana membuat pengertian-pengertian di atas tidak hanya sekilas, tetapi terangnya berkelanjutan. Untuk melenyapkan tanha, upadana, dan avijja diperlukan kebijaksanaan. Walaupun ada keinginan atau cita-cita yang muncul, keinginan itu harus disertai dengan kebijaksanaan bahwa segala sesuatu tidak ada yang kekal. Maka, keinginan ini tidak akan menjadi kemelekatan. Bila kemelekatan tidak muncul,maka teranglah di dalam pikiran.
Pada saat berbicara, bertindak, cobalah untuk selektif. Jangan asal berbicara atau berbuat dengan ‘sembrono’. Berbicara dan berbuat dengan selektif adalah cara membendung tanha, upadana dan munculnya sila. Selain itu, kita juga harus menghancurkan tanha dengan meditasi, sehingga muncul pañña.
Pikiran menjadi sangat terang dan tidak akan goyah melihat perubahan—yang sekarang terlihat sebagai kewajaran. Kita akan mengubah segala kekecewaan, ketidakpuasan, penderitaan, dukkha menjadi keseimbangan, apabila kita mampu melihat semuanya sebagai proses kewajaran.
Inilah yang disampaikan Sang Buddha 25 abad lalu, ketika orang-orang pada masa itu masih percaya terhadap dewa, mengharap berkah pada dewa, dan kepercayaan tidak masuk akal lainnya.