PERTAPA PUKKUSATI
(Majjhima Nikaya 140, Dhatuvibhanga-Sutta).
Pada suatu malam Sang Buddha bermalam di suatu pondok seorang pembuat guci tanah liat. Dalam pondok itu ada seorang pertapa muda bernama Pukkusati yang telah lebih dulu datang ke tempat itu. Mereka tidak saling mengenal. Sang Buddha mengamat-amati pertapa itu dan berpikir: “Pertapa muda ini memiliki pembawaan yang menyenangkan sekali. Alangkah baiknya kalau Aku bicara satu dua patah kata dengan orang iniâ€. Sang Buddha kemudian bertanya: “Saudara-Ku, untuk apakah kau meninggalkan rumahmu dan siapakah nama gurumu atau ajaran siapakah yang kau anut?â€
Pertapa muda itu menjawab: “Orang telah memberitahukan kepadaku tentang seorang pertapa bernama Gotama dari suku Sakya yang menurut mereka telah mencapai Kebijaksana Sempurna. Beliau itulah yang membuat aku menjadi seorang pertapa dan Beliau pula yang menjadi Guruku dan aku menjunjung tinggi ajaran-Nyaâ€. “Tahukah Anda di mana Orang Bijaksana itu sekarang berada?â€
“Aku dengar, bahwa Beliau sekarang berada di suatu tempat yang disebut Savatthiâ€
“Pernahkah Anda melihat Orang Bijaksana itu dan dapatkah Anda mengenalnya kalau sekiranya Anda bertemu dengannya?â€
“Dengan sebenarnya aku belum pernah melihat Orang Bijaksana itu dan aku juga tidak dapat mengenalnya kalau sekiranya aku bertemu dengannya.â€
Sang Buddha sekarang mengetahui bahwa pertapa muda itu sebenarnya menjadi seorang pertapa karena menganut ajaran-Nya sendiri.
Kemudian, tanpa memperkenalkan diri, Sang Buddha lalu berkata “O, saudaraku, Aku akan memberimu satu pelajaran. Dengar dan perhatikanlah baik-baik apa yang akan Kukatakan.â€
“Baiklah, sahabat,†jawab pertapa muda itu. Sesudah itu Sang Buddha menerangkan ajaran-Nya tentang Kesunyataan.
Akhirnya, insaflah Pukkusati bahwa orang yang sedang berbicara kepadanya adalah Sang Buddha sendiri. Lantas ia berdiri dan memberi hormat dengan berlutut di hadapan Sang Buddha sambil mohon diampuni atas kekurangajarannya karena telah memanggil Sang Buddha dengan kata-kata “sahabatâ€. Setelah itu ia juga mohon agar diterima sebagai murid.
Sang Buddha bertanya, apakah ia memiliki sebuah mangkuk dan jubah, sebab sebagaimana kita ketahui, untuk dapat ditahbiskan menjadi bhikkhu, seseorang harus mempunyai tiga stel jubah dan sebuah mangkuk untuk mengumpulkan makanan. Karena pertapa muda ini tidak memiliki benda-benda tersebut di atas, Sang Buddha tidak dapat mentahbiskannya pada saat itu. Pukkusati kemudian keluar dari pondok untuk mencari mangkuk dan jubah, tetapi malang bagiya, dalam perjalanan ia diseruduk seekor sapi dan kemudian meninggal dunia.
Ketika berita yang menyedihkan itu disampaikan kepada Sang Buddha, Beliau berkata bahwa Pukkusati adalah seorang yang bijaksana yang telah mencapai tingkat Anagami. Seorang yang mencapai tingkat Anagami tak akan lahir lagi di dunia ini dan akan mencapai tingkat Arahat di sorga Suddhavasa.
Dari kisah ini dapat kita menarik kesimpulan bahwa ketika Pukkusati mendengarkan Sang Buddha menguraikan ajaranNya, ia tidak tahu siapa sebenarnya yang bicara kepadanya atau ajaran siapa yang telah dibabarkan kepadanya. Ia hanya melihat Kesunyataan. Kalau obat itu baik tentunya dapat menyembuhkan orang sakit dan tidaklah perlu kita harus mengetahui siapa yang membuatnya atau dari mana obat itu datang.
Hampir semua agama didasarkan atas “percaya†yang sewaktu-waktu menjurus ke “percaya†yang membuta. Tetapi agama Buddha justru menekankan pada “melihatâ€, “mengetahui†dan “memahami†yang oleh sementara orang diterjemahkan menjadi “percayaâ€.
Tetapi, “saddha†bukanlah berarti “percaya†seperti yang lazim dipahami orang; ia berarti suatu “keyakinan†yang timbul dari sesuatu yang “nyataâ€.
Dalam agama Buddha memang harus diakui bahwa menurut pengertian umum, istilah “saddha†juga mencakup pengertian “percaya†di dalamnya yang dimaksudkan sebagai “bakti†terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha.
Pada suatu malam Sang Buddha bermalam di suatu pondok seorang pembuat guci tanah liat. Dalam pondok itu ada seorang pertapa muda bernama Pukkusati yang telah lebih dulu datang ke tempat itu. Mereka tidak saling mengenal. Sang Buddha mengamat-amati pertapa itu dan berpikir: “Pertapa muda ini memiliki pembawaan yang menyenangkan sekali. Alangkah baiknya kalau Aku bicara satu dua patah kata dengan orang iniâ€. Sang Buddha kemudian bertanya: “Saudara-Ku, untuk apakah kau meninggalkan rumahmu dan siapakah nama gurumu atau ajaran siapakah yang kau anut?â€
Pertapa muda itu menjawab: “Orang telah memberitahukan kepadaku tentang seorang pertapa bernama Gotama dari suku Sakya yang menurut mereka telah mencapai Kebijaksana Sempurna. Beliau itulah yang membuat aku menjadi seorang pertapa dan Beliau pula yang menjadi Guruku dan aku menjunjung tinggi ajaran-Nyaâ€. “Tahukah Anda di mana Orang Bijaksana itu sekarang berada?â€
“Aku dengar, bahwa Beliau sekarang berada di suatu tempat yang disebut Savatthiâ€
“Pernahkah Anda melihat Orang Bijaksana itu dan dapatkah Anda mengenalnya kalau sekiranya Anda bertemu dengannya?â€
“Dengan sebenarnya aku belum pernah melihat Orang Bijaksana itu dan aku juga tidak dapat mengenalnya kalau sekiranya aku bertemu dengannya.â€
Sang Buddha sekarang mengetahui bahwa pertapa muda itu sebenarnya menjadi seorang pertapa karena menganut ajaran-Nya sendiri.
Kemudian, tanpa memperkenalkan diri, Sang Buddha lalu berkata “O, saudaraku, Aku akan memberimu satu pelajaran. Dengar dan perhatikanlah baik-baik apa yang akan Kukatakan.â€
“Baiklah, sahabat,†jawab pertapa muda itu. Sesudah itu Sang Buddha menerangkan ajaran-Nya tentang Kesunyataan.
Akhirnya, insaflah Pukkusati bahwa orang yang sedang berbicara kepadanya adalah Sang Buddha sendiri. Lantas ia berdiri dan memberi hormat dengan berlutut di hadapan Sang Buddha sambil mohon diampuni atas kekurangajarannya karena telah memanggil Sang Buddha dengan kata-kata “sahabatâ€. Setelah itu ia juga mohon agar diterima sebagai murid.
Sang Buddha bertanya, apakah ia memiliki sebuah mangkuk dan jubah, sebab sebagaimana kita ketahui, untuk dapat ditahbiskan menjadi bhikkhu, seseorang harus mempunyai tiga stel jubah dan sebuah mangkuk untuk mengumpulkan makanan. Karena pertapa muda ini tidak memiliki benda-benda tersebut di atas, Sang Buddha tidak dapat mentahbiskannya pada saat itu. Pukkusati kemudian keluar dari pondok untuk mencari mangkuk dan jubah, tetapi malang bagiya, dalam perjalanan ia diseruduk seekor sapi dan kemudian meninggal dunia.
Ketika berita yang menyedihkan itu disampaikan kepada Sang Buddha, Beliau berkata bahwa Pukkusati adalah seorang yang bijaksana yang telah mencapai tingkat Anagami. Seorang yang mencapai tingkat Anagami tak akan lahir lagi di dunia ini dan akan mencapai tingkat Arahat di sorga Suddhavasa.
Dari kisah ini dapat kita menarik kesimpulan bahwa ketika Pukkusati mendengarkan Sang Buddha menguraikan ajaranNya, ia tidak tahu siapa sebenarnya yang bicara kepadanya atau ajaran siapa yang telah dibabarkan kepadanya. Ia hanya melihat Kesunyataan. Kalau obat itu baik tentunya dapat menyembuhkan orang sakit dan tidaklah perlu kita harus mengetahui siapa yang membuatnya atau dari mana obat itu datang.
Hampir semua agama didasarkan atas “percaya†yang sewaktu-waktu menjurus ke “percaya†yang membuta. Tetapi agama Buddha justru menekankan pada “melihatâ€, “mengetahui†dan “memahami†yang oleh sementara orang diterjemahkan menjadi “percayaâ€.
Tetapi, “saddha†bukanlah berarti “percaya†seperti yang lazim dipahami orang; ia berarti suatu “keyakinan†yang timbul dari sesuatu yang “nyataâ€.
Dalam agama Buddha memang harus diakui bahwa menurut pengertian umum, istilah “saddha†juga mencakup pengertian “percaya†di dalamnya yang dimaksudkan sebagai “bakti†terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha.