TUJUAN HIDUP UMAT BUDDHA
Dhamma Y.M. Bhante Uttamo Mahathera.
Apakah sesungguhnya tujuan hidup menurut agama Buddha?
Tujuan hidup menurut agama Buddha adalah:
1. Silena Bhogasampada : hidup bahagia
(memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma)
2. Silena Sugatim Yanti : mati masuk surga
(terlahir di alam bahagia)
3. Silena Nibbutim Yanti : tercapainya Nibbana.
Itulah tujuan hidup kita. Pertanyaan yang selalu diucapkan oleh para bhikkhu setelah memberikan tuntunan sila ini sering kali tidak disadari bahkan tidak kita ketahui bahwa itulah tujuan hidup kita.
Semua orang pasti ingin hidup bahagia. Tidak ada seseorang yang ingin hidupnya menderita. Tetapi bagaimanakah ukuran hidup bahagia menurut itu Sang Buddha? Menurut agama Buddha ukuran bahagia disini adalah cukup sandang, pangan dan papan dan obat-obatan yang berarti cukup pakaian, makanan, tempat tinggal dan kesehatan. Ini adalah kebutuhan pokok. Orang ekonomi menyebutnya kebutuhan primer. Kalau kebutuhan pokok ini sudah bisa terpenuhi semua barulah kita akan berpikir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya seperti televisi, mobil, dan lain sebagainya.
Lalu timbul pertanyaan: “apakah ukuran “cukup†itu?†ini menjadi ukuran yang sulit. Karena ada orang yang meskipun mobilnya sudah 5 buah, misalnya, tetapi merasa tetap masih kurang. Jadi apakah batasan “cukup†itu? Apakah rumah mewah seperti istana dengan satu kamar mandi seharga Rp 200 juta itu sudah cukup? Akhirnya “cukup†ini menjadi relatif, tergantung pada individu yang bersangkutan.
Kemudian timbul satu kasus: “saya sudah kaya raya, sudah mempunyai 5 buah mobil, sudah mempunyai kamar mandi seharga Rp 200 juta, pakaian pun sudah sedemikian banyak; mengapa saya tetap tidak bahagia?†mengapa demikian? Karena orang ini hanya tahu “silena bhogasampada†yaitu cukup kehidupan di dunia ini. seharusnya orang ini juga berpikir “silena sugatim yanti†yaitu berpikir hidup bahagia, mati masuk surga.
Apakah resep mati masuk surga itu menurut agama Buddha? Resepnya adalah kita mengingat bahwa orang lain juga membutuhkan sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Sebagai seorang manusia, pertama-tama kita memang harus cukup sandang, pangan, papan, dan obat-obatan dulu; kemudian kita pun harus mengingat bahwa orang lain juga demikian. Kalau kita ingat bahwa orang lain juga membutuhkan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan; tentu kita akan berpikir bagaimana cara kita supaya kebutuhan mereka juga terpenuhi? Caranya adalah dengan kita membaginya kepada orang lain.
Contohnya adalah para bhikkhu. Setelah para bhikkhu selesai makan, mereka juga membaginya kepada umat yaitu dengan mempersilahkan umat untuk makan. Dengan memakan makanan tersebut berarti umat memberi kesempatan kepada para bhikkhu untuk masuk surga. Mengapa demikian?
Karena para bhikkhu sudah merasa cukup, para bhikkhu juga ingat bahwa mahluk-mahluk yang ada disekitarnya, baik yang tampak maupun tidak tampak, juga membutuhkan makanan. Begitu halnya juga dengan jubah. Adakalanya para bhikkhu membagikan jubah mereka sehingga ada sebagian orang yang menganggap itu adalah berkah. Sesungguh hal ini juga dapat dikatakan berkah tetapi bukanlah berkah seperti yang dianut kebanyakan orang. Karena sebetulnya hal tersebut berarti para bhikkhu memberi kesempatan kepada umat yang tidak mempunyai kain supaya bisa dimanfaatkan, misalnya untuk kain lap, dan sebagainya. Jadi bukan untuk dijadikan jimat, disembahyangi. Itu adalah suatu pandangan yang salah.
Teknik yang sudah diajarkan ini bisa juga digunakan oleh umat. Para umat bisa mengikuti jejak para bhikkhu sebagai guru yaitu dengan membagikan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan. Misalnya kalau kita mengadakan selamatan nasi kuning/tumpengan. Selain untuk kita sekeluarga, kita bisa menyisihkan dan membaginya kepada tetangga-tetangga dan karyawan-karyawan kita. Ini berati kita menanam karma baik. Begitu juga halnya dengan pakaian. Kalau kita sudah cukup pakaian, hendaknya kita pun bisa membaginya dengan mahluk lain. Demikian pula halnya dengan tempat tinggal dan obat-obatan. Kita bisa memberikan kesempatan misalnya pada sanak famili/teman yang datang dari jauh untuk menginap ditempat kita. Atau kalau ada yang sedang sakit maka kita bisa memberinya obat-obatan.
Selanjutnya apakah buah dari menanam kebajikan seperti tadi? Buah dari menanam kebajikan tadi adalah hidup bahagia dan bisa terlahir di alam surga setelah meninggal dunia. Orang yang suka menanam kebajikan akan memperoleh ketenangan. Kalau batin kita bahagia, hidup kita selalu tenang dan diisi dengan perbuatan-perbuatan baik yang dapat menimbulkan kebahagiaan maka setelah meninggal dunia, orang tersebut pasti akan lahir di surga. Ini jalannya sudah otomatis!
Selain Silena Bhogasampada, Silena Sugatim Yanti, yang terakhir adalah “Silena Nibbutim Yanti†yaitu tercapainya Nibbana/nirvana. Apakah hubungan Nibbana dengan membagikan sebagian milik kita? Hubungannya adalah dengan ketenangan. Kalau keadaan hidup kita yang tenang dan bahagia itu digunakan untuk meditasi dan bukan untuk tidur maka kemampuan kita akan meningkat. Karena kalau kita bermeditasi setelah marah, maka pikiran kita akan menjadi gelisah. Tetapi kalau bermeditasi setelah berbuat baik, maka pikiran dan konsentrasi akan meningkat. Karena kondisi batin kita bahagia dan meditasi kita semakin meningkat, maka penembusan pada Dhamma yang semakin tinggi akan bisa tercapai sehingga kemungkinan untuk mencapai Nibbana juga akan terbuka.
Oleh karena itu, gunakanlah kesempatan hidup ini untuk panen raya kebajikan karma baik. Mereka yang berdana, mereka yang melaksanakan Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari; merekalah yang akan memperoleh berkah utama. Berkah utama bukan berasal dari 'kepretan', karena tidak disebutkan dalam sutta tentang berkah utama bahwa 'kepretan' air itu akan mendatangkan berkah. Tetapi salah satu berkah yang disebutkan dalam sutta tentang berkah utama adalah berdana dan melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Hendaknya hal ini bisa kita laksanakan dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan sehari-hari sehingga tujuan hidup kita akan tercapai yaitu hidup bahagia, mati masuk surga dan mencapai Nibbana, baik dalam kehidupan ini maupun dalam
kehidupan-kehidupan yang akan datang.
Apakah sesungguhnya tujuan hidup menurut agama Buddha?
Tujuan hidup menurut agama Buddha adalah:
1. Silena Bhogasampada : hidup bahagia
(memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma)
2. Silena Sugatim Yanti : mati masuk surga
(terlahir di alam bahagia)
3. Silena Nibbutim Yanti : tercapainya Nibbana.
Itulah tujuan hidup kita. Pertanyaan yang selalu diucapkan oleh para bhikkhu setelah memberikan tuntunan sila ini sering kali tidak disadari bahkan tidak kita ketahui bahwa itulah tujuan hidup kita.
Semua orang pasti ingin hidup bahagia. Tidak ada seseorang yang ingin hidupnya menderita. Tetapi bagaimanakah ukuran hidup bahagia menurut itu Sang Buddha? Menurut agama Buddha ukuran bahagia disini adalah cukup sandang, pangan dan papan dan obat-obatan yang berarti cukup pakaian, makanan, tempat tinggal dan kesehatan. Ini adalah kebutuhan pokok. Orang ekonomi menyebutnya kebutuhan primer. Kalau kebutuhan pokok ini sudah bisa terpenuhi semua barulah kita akan berpikir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya seperti televisi, mobil, dan lain sebagainya.
Lalu timbul pertanyaan: “apakah ukuran “cukup†itu?†ini menjadi ukuran yang sulit. Karena ada orang yang meskipun mobilnya sudah 5 buah, misalnya, tetapi merasa tetap masih kurang. Jadi apakah batasan “cukup†itu? Apakah rumah mewah seperti istana dengan satu kamar mandi seharga Rp 200 juta itu sudah cukup? Akhirnya “cukup†ini menjadi relatif, tergantung pada individu yang bersangkutan.
Kemudian timbul satu kasus: “saya sudah kaya raya, sudah mempunyai 5 buah mobil, sudah mempunyai kamar mandi seharga Rp 200 juta, pakaian pun sudah sedemikian banyak; mengapa saya tetap tidak bahagia?†mengapa demikian? Karena orang ini hanya tahu “silena bhogasampada†yaitu cukup kehidupan di dunia ini. seharusnya orang ini juga berpikir “silena sugatim yanti†yaitu berpikir hidup bahagia, mati masuk surga.
Apakah resep mati masuk surga itu menurut agama Buddha? Resepnya adalah kita mengingat bahwa orang lain juga membutuhkan sandang, pangan, papan dan obat-obatan. Sebagai seorang manusia, pertama-tama kita memang harus cukup sandang, pangan, papan, dan obat-obatan dulu; kemudian kita pun harus mengingat bahwa orang lain juga demikian. Kalau kita ingat bahwa orang lain juga membutuhkan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan; tentu kita akan berpikir bagaimana cara kita supaya kebutuhan mereka juga terpenuhi? Caranya adalah dengan kita membaginya kepada orang lain.
Contohnya adalah para bhikkhu. Setelah para bhikkhu selesai makan, mereka juga membaginya kepada umat yaitu dengan mempersilahkan umat untuk makan. Dengan memakan makanan tersebut berarti umat memberi kesempatan kepada para bhikkhu untuk masuk surga. Mengapa demikian?
Karena para bhikkhu sudah merasa cukup, para bhikkhu juga ingat bahwa mahluk-mahluk yang ada disekitarnya, baik yang tampak maupun tidak tampak, juga membutuhkan makanan. Begitu halnya juga dengan jubah. Adakalanya para bhikkhu membagikan jubah mereka sehingga ada sebagian orang yang menganggap itu adalah berkah. Sesungguh hal ini juga dapat dikatakan berkah tetapi bukanlah berkah seperti yang dianut kebanyakan orang. Karena sebetulnya hal tersebut berarti para bhikkhu memberi kesempatan kepada umat yang tidak mempunyai kain supaya bisa dimanfaatkan, misalnya untuk kain lap, dan sebagainya. Jadi bukan untuk dijadikan jimat, disembahyangi. Itu adalah suatu pandangan yang salah.
Teknik yang sudah diajarkan ini bisa juga digunakan oleh umat. Para umat bisa mengikuti jejak para bhikkhu sebagai guru yaitu dengan membagikan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan. Misalnya kalau kita mengadakan selamatan nasi kuning/tumpengan. Selain untuk kita sekeluarga, kita bisa menyisihkan dan membaginya kepada tetangga-tetangga dan karyawan-karyawan kita. Ini berati kita menanam karma baik. Begitu juga halnya dengan pakaian. Kalau kita sudah cukup pakaian, hendaknya kita pun bisa membaginya dengan mahluk lain. Demikian pula halnya dengan tempat tinggal dan obat-obatan. Kita bisa memberikan kesempatan misalnya pada sanak famili/teman yang datang dari jauh untuk menginap ditempat kita. Atau kalau ada yang sedang sakit maka kita bisa memberinya obat-obatan.
Selanjutnya apakah buah dari menanam kebajikan seperti tadi? Buah dari menanam kebajikan tadi adalah hidup bahagia dan bisa terlahir di alam surga setelah meninggal dunia. Orang yang suka menanam kebajikan akan memperoleh ketenangan. Kalau batin kita bahagia, hidup kita selalu tenang dan diisi dengan perbuatan-perbuatan baik yang dapat menimbulkan kebahagiaan maka setelah meninggal dunia, orang tersebut pasti akan lahir di surga. Ini jalannya sudah otomatis!
Selain Silena Bhogasampada, Silena Sugatim Yanti, yang terakhir adalah “Silena Nibbutim Yanti†yaitu tercapainya Nibbana/nirvana. Apakah hubungan Nibbana dengan membagikan sebagian milik kita? Hubungannya adalah dengan ketenangan. Kalau keadaan hidup kita yang tenang dan bahagia itu digunakan untuk meditasi dan bukan untuk tidur maka kemampuan kita akan meningkat. Karena kalau kita bermeditasi setelah marah, maka pikiran kita akan menjadi gelisah. Tetapi kalau bermeditasi setelah berbuat baik, maka pikiran dan konsentrasi akan meningkat. Karena kondisi batin kita bahagia dan meditasi kita semakin meningkat, maka penembusan pada Dhamma yang semakin tinggi akan bisa tercapai sehingga kemungkinan untuk mencapai Nibbana juga akan terbuka.
Oleh karena itu, gunakanlah kesempatan hidup ini untuk panen raya kebajikan karma baik. Mereka yang berdana, mereka yang melaksanakan Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari; merekalah yang akan memperoleh berkah utama. Berkah utama bukan berasal dari 'kepretan', karena tidak disebutkan dalam sutta tentang berkah utama bahwa 'kepretan' air itu akan mendatangkan berkah. Tetapi salah satu berkah yang disebutkan dalam sutta tentang berkah utama adalah berdana dan melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Hendaknya hal ini bisa kita laksanakan dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan sehari-hari sehingga tujuan hidup kita akan tercapai yaitu hidup bahagia, mati masuk surga dan mencapai Nibbana, baik dalam kehidupan ini maupun dalam
kehidupan-kehidupan yang akan datang.